Blog Berbagi Informasi

Saturday, 4 January 2014

ORIENTALISME

No comments :


ORIENTALISME
BAHAN AJAR MATA KULIAH ORIENTALISME
FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS IBN KHALDUN 2009

Pendahuluan
Perbincangan tentang orientalisme telah menjadi wacana umum di masyarakat akademis Indonesia baik yang berkonotasi negatif atau positif. Biasanya fenomena itu dihubungkan dengan kondisi sosiologis masyarakat Islam serta pengaruh pemikiran orientalisme terhadap eksistensi agama Islam.



Orientalisme berasal dari kata orient yang berarti “timur”, lawannya occident yang bermakna “barat”. Walaupun demikian, pemaknaan kedua kata ini tidak terbatas pada letak geografis dan teritorial. Penggunaan kata orient lebih bermakna budaya, bangsa, mentalitas, sistem kepercayaan, dan agama yang dianut oleh masyarakat Timur. Oleh sebab itu, negara-negara Timur Tengah masuk dalam kategori orient. Labelisasi orient pada bangsa-bangsa Timur lebih dikarenakan pandangan hegemoni Barat yang menganggap dunia Timur sebagai dunia primitif, belum mengenal peradaban, terbelakang tapi kaya dengan kkazanah budaya, agama, bahan rempah, peningggalan bersejarah, dan artefak seni. Hubungan yang tidak similar ini mengakibatkan pandangan chauvinisme Barat yang beranggapan bahwa dunia Timur akan maju jika dimasuki pandangan Barat tentang kehidupan, tentang manusia, dan tentang masyarakat.

Berdasarkan sudut pandang ini dapat dikemukakan bahwa orientalisme adalah peradaban dan kebudayaan Timur yang memiliki keunikan budaya, manusia, mentalitas, sistem kepercayaan dan religi, sistem kehidupan, dan pandangan dunia. Dengan demikian, orientalisme harus didekati dari perspektif ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang keunikan dan kekhasan dunia Timur tersebut. Sebagai salah satu varian dari ilmu sosial (human sciencies), pendekatan orientalisme murni dalam paradigma ilmu sosial melalui teori-teori, konsep, dan sistem pemikiran Barat baik yang dikemukakan Emile Durkheim, Ferdinand Tonnies, Pitirim Sorokin, Splengler, Arnold Toynbee, Immanuel Willerstein, Andre Gunther Frank, Talcott Parsons, dan lain sebagainya.

Dalam sejarah orientalisme, kajian-kajian Barat terhadap dunia Timur memiliki tujuan ideologis yaitu ingin menjajah untuk mengeruk kekayaan alamnya. Slogan imperialisme kuno, gospel, gold, glory menunjukkan tujuan ideologis itu yaitu penyebaran agama (kristiani), mencari kekayaan, serta kejayaan supremasi dunia Barat. Penjelajahan bangsa Spanyol, Portugis, Inggris, Prancis, Belanda ke seluruh pelosok dunia berangkat dari slogan serupa (bedakan dengan ekspansi Cina dan negara Arab yang memiliki motivasi dagang). Motif ideologis kemudian berganti menjadi motif ekonomi ketika tanah jajahan mengandung kekayaan yang berlimpah. Secara umum, motivasi ini yang melandasi kajian-kajian orientalisme di seluruh dunia (tidak hanya di dunia Islam).

Uniknya dalam peta politik global dewasa ini, Islam menjadi kekuatan baru baik dalam politik, ideologi, sosial, ekonomi, bahkan kebudayaan. Samuel Huntington menyebutkan akan terjadi benturan antara peradaban Barat dengan Islam, yang disebutnya sebagai “benturan peradaban” (clash of civilisation). Hal ini membuat Islam menjadi kekuatan baru dunia yang sangat dikhawatirkan peradaban Barat untuk mempertahankan hegemoninya. Secara ilmiah dan dalam ranah pemikiran, Islam mampu menawarkan model berpikir baru yang menghantam model berpikir Barat yang materialis dan liberal. Islam yang berangkat dari doktrin agama ternyata mampu memberdayakan sistem ajarannya (al-Qur’an dan as-Sunnah) menjadi paradigma berpikir. Berbeda dengan peradaban Barat yang sekuler dan anti agama. Walaupun bersifat sporadis, pemikir-pemikir Islam berusaha memperkuat sistem pemikiran keislaman (Islamic thought) sebagai landasan ideal masyarakat Islam untuk memajukan peradaban Islam. Serangkaian pemikiran ini kemudian diarahkan untuk mengkaji peradaban Barat yang disebut Oksidentalisme. Tokoh-tokoh seperti Muhammad Arkoun, Hasan Hanafi, Isa J. Boullata, Ismail Raji al-Faruqi, dan lain-lain berasumsi bahwa hubungan peradaban Islam dengan Barat harus seimbang. Jika Barat memiliki kepentingan dengan melakukan kajian terhadap Islam maka Islam pun melakukan hal yang sama.

Pengertian Orientalisme
            Secara akademis, orientalisme merupakan kajian-kajian Barat terhadap kebudayaan, peradaban, tradisi, agama, dan sistem kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat Timur yaitu kebudayaan India, Cina, Jepang, Arab, Persia, Melayu, dan Afrika. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, kajian orientalisme mempunyai muatan ideologis yaitu asumsi bangsa Barat tentang bangsa Timur yang primitif, terbelakang, eksotis, dan membutuhkan bantuan untuk maju. Ada beberapa asumsi yang dilakukan orientalisme, yaitu:
1.        Asumsi ideologis dan politik
Dalam asumsi ideologis-politik, bangsa Barat beranggapan bahwa kebudayaan yang mereka miliki sangat superior sedangkan bangsa di luar sangat inferior. Hal ini memberikan peluang bagi Barat untuk menata kepentingan politiknya secara luas. Ideologi dan tatanan politik yang berasal dari Barat dianggap sangat bagus dan tidak boleh dikritik. Begitu juga dengan tatanan kehidupan sosial masyarakat Barat yang menyebutkan bahwa mereka masyarakat maju.

2.        Asumsi ekonomi
Dalam asumsi ekonomi, orientalisme menyebutkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat Barat jauh lebih bagus dibandingkan belahan dunia lain yang terbelakang dan miskin. Walaupun demikian, kekayaan alam yang dimiliki dunia Timur sangat fantastis. Barat yang mengalami keterbatasan sumber daya alam membutuhkan pasokan yang aman dari Timur. Dengan demikian, ekspansi ekonomi harus dilakukan untuk mengamankan pasokan sumber daya tersebut.

3.        Asumsi budaya
Budaya Barat yang disebut Eurosentrisme sangat memukau dan fantastis. Gaya hidup dijadikan teladan bagi masyarakat dunia lain yang menginginkan kecukupan materi. Dengan demikian, dunia Barat mengimpor gaya hidup dan budayanya ke masyarakat Timur agar merasakan kemajuan dunia yang diingini banyak orang.

            Asumsi inilah yang menjadi alasan rasional Bangsa Barat melakukan pengkajian terhadap dunia dan kebudayaan Timur. Dengan demikian, mereka memiliki pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang dunia Timur dan dapat mengendalikannya sesuai dengan keinginan mereka. Isu-isu seperti HAM, lingkungan hidup, gender, demokrasi, nation-state dijadikan senjata untuk menata kehidupan masyarakat Timur. Jika masyarakat atau negara Timur tidak mau atau tidak menyepakati isu-isu yang diwacanakan secara global ini maka negara itu akan dikucilkan dari pergaulan internasional.

            Kajian Barat terhadap Indonesia atau Islam Indonesia sudah dimulai sebelum era kemerdekaan (era kolonialisme). Yang terkenal masa itu adalah Snouck Horgronje di Aceh, L. Stoddard, dan lain sebagainya. Tradisi ini terus berlanjut mulai dari George T. Kahin, Clifford Geertz, Cindy Adams, Robert Heffner, Martin Van Bruissen, dan lain sebagainya.

Salah satu orientalisme yang dikenal luas di Indonesia adalah Clifford Geertz yang secara intensif melakukan penelitian keagamaan. Dalam penelitian di Pare, Mujokuto Jawa Timur, Geertz menghasilkan sebuah teori tentang peran kelompok agama kelas menengah yang mampu memberi warna dan perubahan pada tatanan kehidupan politik masyarakat. Penelitian tentang politik aliran masyarakat Islam ini melahirkan kategorisasi tentang abangan, santri. Priyayi sebagai kelompok sosial yang berperan aktif menumbuhkan aspirasi politik masyarakat Islam.

Dalam penelitiaanya di Tabanan, Bali tentang kasta Hindu, Geertz menyimpulkan terjadinya kerja sama di antara kelompok masyarakat dalam mengukuhkan kekuasaannya. Biasanya terjadi antara kelompok penguasa dan agama. Menurut Geertz, kelompok kesatria dalam kasta Hindu yang selalu menjadi kelompok penguasa selalu membutuhkan legitimasi dari kasta brahma sebagai kelompok agama, begitupun sebaliknya.

Beberapa Kajian Orientalisme Tentang Islam
1.        Bernard Lewis tentang Bahasa Politik Islam
Dalam bukunya Bahasa Politik Islam, Lewis menyebutkan bahwa Islam secara politik telah mengalami banyak perubahan. Bahasa politik yang digunakan masyarakat untuk mengekspresikan kepentingan politiknya tidak didasarkan pada al-Qur’an dan as-Sunnah tapi dipengaruhi oleh kebudayaan Romawi, Persia, dan Arab. Memang Lewis masuk dalam kategori orientalis yang “belum seimbang” dalam memandang Islam. semangat yang dihasilkannya justru mendiskreditkan umat Islam. Walaupun demikian, ia mengakui bahwa di negara yang mayoritas penduduknya Islam, ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah menjadi identitas diri dan kolektif yang paling dominan serta mengikat loyalitas kelompok masyarakat.

Menurut Lewis, pertumbuhan bahasa politik Islam berkaitan erat dengan pertumbuhan Islam sendiri sebagai agama karena ada adagium “Islam sebagai din wa siyasah”. Dengan kata lain, bahasa politik merupakan bagian integral dari bahasa agama. Hal ini sudah dimulai ketika Rasulullah merumuskan negara Madinah yang kemudian dilanjutkan Khulafar Rasyidin. Terminologi politik pada masa ini sangat identik dengan bahasa agama. Tapi pada masa Dinasti Umayyah mulai terlihat pemisahan antara bahasa politik dengan bahasa agama. Bahasa politik Islam pun menggunakan idiom atau terminologi baru yang maknanya terpisah dengan doktrin agama.

Pertimbangan politis menjadi referensi dalam menggunakan bahasa politik baik yang digunakan ulama vis a vis penguasa atau pemberian idiom patronase bagi penguasa. Lewis menyatakan bahwa referensi utama bahasa politik Islam adalah bahasa Arab (selain bahasa Persia dan Turki). Dikarenakan al-Qur’an dan as-Sunnah membicarakan politik secara umum maka makna politik dicari padanannya yang sesuai dengan bahasa Arab secara lebih spesifik. Idiom ini menyebar dan melekat ke berbagai wilayah muslim (Benua India, Asia Tenggara, Afrika) di mana terjadi adopsi idiom, istilah, dan jargon politik yang sebenarnya berkenaan dengan pengalaman politik masyarakat Semenanjung Arabia. Penggunaan kata Sharif atau Sultan untuk penguasa di Asia Tenggara menunjukkan bagaimana idiom dan istilah politik Islam mampu mempengaruhi perilaku politik di belahan dunia lain.

Di samping bahasa Arab, bahasa Turki dan Persia memiliki andil besar dalam memperkaya khazanah bahasa politik Islam. Hal ini disebabkan pergeseran geo-politik dan pusat kekuasaan Islam dari semenanjung Arab ke wilayah Timur Tengah. Kebangkitan Dinasti Safawid di Iran dan Ustmaniyah di Turki memunculkan istilah dan jargon baru dalam politik Islam.

Dalam era modern, menurut Lewis, istilah dan jargon bahasa politik Islam tidak terdapat dalam khazanah bahasa Arab, Turki, atau Persia. Pengambilalihan dilakukan dari bahasa Barat sehingga banyak konsep, istilah, dan institusi politik Islam tidak lagi dikenal oleh khazanah politik Islam. Dalam situasi ini, bahasa politik rawan mengalami perubahan jika dibandingkan dengan bahasa agama (terutama dalam istilah fiqih). Tapi perubahan bahasa politik Islam pada masa modern lebih banyak disebabkan infiltrasi Barat melalui pemaksaan konsep dan ideologi (yang luput dibahas oleh Lewis).

Lewis memberikan jalan tengah. Salah satu cara untuk memahami perubahan bahasa politik Islam melalui:
a.       Bagaimana istilah atau konsep itu digunakan dan dipahami oleh masyarakat Islam.
b.      Bagaimana pilihan alusi atau metafora politik yang diambil.

2.        Hiroko Horikoshi Tentang Peran Ulama Dalam Perubahan Sosial
Dalam sejarah perdaban Islam, ulama sering menampakkan diri sebagai pemimpin gerakan pembaharu sosial-politik. Alasannya: 1) kenyataan bahwa ulama secara historis menganggap dirinya sebagai titik fokus kesadaran moral Islam, 2) ulama berdiam diri di mesjid dan madrasah yang notabene merupakan tempat berkumpulnya masyarakat secara teratur. Di situ kemudian ulama membicarakan masalah yang dihadapi oleh masyarakat dan negara.

Di masyarakat desa (Indonesia dan negara Islam lainnya), menurut Hirokoshi, ulama berhasil mempertahankan kedudukannya serta menegakkan institusi keagamaan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan agama dan menjabarkan secara luas doktrin Islam. Pemahaman masyarakat desa terhadap keluhuran akhlak ulama dan keluasan ilmunya menjadi sandaran untuk mempertanyakan hal-hal yang berkaitan dengan ibadah mahdah dan ghair mahdah. Ulama juga memberikan pengajaran tentang aspek keduniaan dan keakhiratan sehingga masyarakat pedesaan mampu memahami doktrin Islam secara utuh.

Menurut Hirokoshi, proses islamisasi di masyarakat pedesaan Indonesia secara struktural dilakukan oleh tiga komponen, yaitu: a) kesultanan yang notabene memiliki kekuatan maritim sehingga memungkinkan proses penaklukan kerajaan dan wilayah kecil di sepanjang pantai Jawa sampai ke pedalaman, b) ulama asing yang diterima secara baik dan memiliki jabatan strategis di kesultanan Islam tanah Jawa, dan c) ulama sufi yang secara aktif melakukan dakwah dari daerah pesisir ke pedalaman Jawa. Dalam rangka mempercepat penerimaan di masyarakat, banyak ulama melakukan sinkretisme (penggabungan) antara doktrin agama dengan kebiasaan masyarakat seperti menyembuhkan penyakit dengan kekuatan magis, dan lain sebagainya.

Masyarakat pedesaan di Indonesia memiliki kecenderungan untuk memperjuangkan simbol penyatuan kelompok masyarakat. Dalam hal ini, ulama atau kyai dapat menjadi simbol pemersatu itu. Ada beberapa fungsi yang dapat diperankan ulama bagi masyarakat:
a.       Sebagai simbol pemersatu masyarakat
b.      Sebagai benteng masyarakat menghadapi arus sekularisasi
c.       Sebagai garda depan perubahan sosial.

Seorang ulama mempunyai karisma dan kemampuan untuk membaca arah pikiran jemaahnya dan masyarakat. Ia harus mampu menjelaskan masalah teologi yang sulit kepada para petani sesuai dengan pemahaman mereka. Ulama juga menjadi tempat bertanya untuk memecahkan berbagai persoalan hidup yang dihadapi masyarakat desa itu. Dalam rangka mengukuhkan otoritas dan kewibawaannya, ulama biasanya mencipta sebuah lembaga atau institusi yang disebut pesantren. Hal ini dilakukan untuk memantapkan sistem ajaran yang telah diajarkan serta menjaga kesinambungannya dalam jangka panjang. Dengan demikian, patron yang satu meninggal dapat dilanjutkan oleh patron yang lain. Dalam hal ini sistem ulama mempunyai mekanisme pewarisan khusus atas dasar sistem kekeluargaan.

Dalam rangka mempertahankan kemurniaan ajaran Islam, banyak ulama yang menentang sistem pemerintah sekuler yang berlaku. Pelestarian ajaran Islam yang komprehensif seringkali berbenturan dengan sistem pemerintah. Sistem pemerintah biasanya cenderung memaksakan perubahan gaya hidup melalui jaringan politik dan ideologi. Nah, ulama dengan institusi pesantren biasanya memberikan pelajaran bahwa masyarakat masih diikat oleh sistem paguyuban yang erat dan belum bisa dipengaruhi dari luar. Kemahiran ulama dalam memainkan simbol ideologi dan agama mampu memberikan rasa aman bagi masyarakat dalam memenuhi ekspektasi sosial, memperhatikan kesejahteraan ekonomi, serta tujuan agama.

Dalam hal ini, Hiroko Horikoshi telah mampu memberikan identitas bagi ulama sebagai:
a.       Agen perubahan sosial
b.      Problem solving (pemecah masalah yang dihadapi masyarakat)
c.       Decision making (pembuat keputusan strategis bagi masyarakat)

3.        Marshal G. Hodgson Tentang Islam Sebagai Venture
Dalam bukunya The Venture of Islam, Hodgson menyebutkan Islam sebagai agama penjelajah (sebagai venture). Islam sebagai venture merupakan metode Hodgson untuk mengkritisi etnosentrisme Barat dalam memahami Islam di mana Islam hanya dipahami sebagai seperangkat doktrin keyakinan yang tidak mengimbas pada kehidupan sosial. Menurut Hodgson, sebagai venture, Islam adalah sistem keyakinan dan sistem sosial. Islam sebagai venture adalah keyakinan fundamental masyarakat Islam atas kehidupan sosial sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW sehingga Islam menampilkan diri sebagai ajaran yang benar dan berlaku universal.
a.       Sebagai sistem keyakinan, Islam merupakan manifestasi dari doktrin yang termaktub dalam al-Qur’an dan ajaran Rasulullah tentang bagaimana manusia menjalani kehidupan secara baik sehingga memperoleh kebaikan dunia dan akhirat.
Sumber keyakinan semua masyarakat Islam adalah pengakuan terhadap Allah SWT sebagai pemilik absolut seluruh alam di mana manusia merupakan salah satubagian darinya. Ini menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk mengembangkan peradaban Islam yang luas.
b.      Sebagai sistem sosial, Islam memberikan pemahaman bagaimana merekayasa sistem kemasyarakatan sehingga mampu memberikan pandangan tentang kehidupan sosial yang luas. Ajaran Islam yang tidak berubah dan mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial diibaratkan Hodgson dengan “resep tradisional kue kering pada hari lebaran”. Menurutnya,
tradisi kultural Islam diibaratkan dengan sebuah resep tradisional untuk kue kering pada haru raya yangtelah disampaikan secara bertahun-tahun dan antar generasi yang tidak pernah berubah dari ibu ke anak dan selanjutnya selama beberapa generasi”. Jika resep itu semata-mata transmitif atau kebiasaan belaka maka perubahan kondisi bisa saja mencampakkan resep itu, paling tidak ketika ibu meninggal. Tapi karena pentingnya eksistensi kue dalam setiap hari raya untuk memenuhi kebutuhan maka tradisi itu berlanjut, tumbuh, dapat disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan.

     Dalam hal ini, Islam dapat didefinisikan sebagai sebuah komitmen pada petualang (venture) kemana visi dan misi Nabi Muhammad mengarah. Yang secara konkrit bermakna sumpah setia kepada Rasulullah dan kitab-Nya, kemudian kepada komunitas (masyarakat Islam awal) Muhammad terhadap apa-apa yang telah diwariskan kepada generasi selanjutnya. Islam sebagai sistem sosial diperlakukan sebagai perjalanan kesadaran nurani manusia yang bersifat batiniah untuk mencipta peradaban materi sekaligus impersonal.

Dalam hal ini, Hodgson membedakan antara Islam sebagai ajaran keimanan dengan Islam sebagai sejarah. Kesalahan sikap etnosentrisme Barat adalah menyamakan antara keduanya sehingga sering terjebak pada penyamaan antara Islam sebagai agama dan budaya.

Satu istilah menarik yang dikemukakan Hodgson adalah Islamdom yaitu masyarakat Islam yang secara spesifik mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam. Islam menjadi frame of reference yang berlaku umum dan dominan sehingga menjadi dasar membentuk kebudayaan masyarakat itu. Dalam konteks ini, Islam tidak pernah sama betul antar wilayah dan kebudayaan. Perbedaan pola pandang dan pemahaman atas doktrin agama melahirkan Islam yang kaya warna. Islam historis sebagaimana diyakini Hodgson dapat menjadi dasar untuk membentuk masyarakat yang beradab, inklusif, dan menghasilkan karya nyata yang mencengangkan. Dalam hal ini, wacana pluralisme dan inklusivisme bahkan menjadi bagian untuk membangun peradaban Islam.

4.        Annemarie Schimmel Tentang Pendekatan Fenomenologis Terhadap Islam
Pendekatan fenomenologis atau fenomenologi agama sebagaimana diyakini Schimmel adalah memasuki jantung pemahaman masyarakat Islam sendiri secara langsung terhadap sistem ajaran Islam. Islam dipahami sebagai sebuah fenomena yang diyakini dan dibenarkan oleh pemeluknya sehingga melahirkan pola perilaku dan sikap menghadapi kehidupan dunia.

Dalam bukunya Deciphering the Sign of God (Rahasia Wajah Suci Ilahi), Schimmel mendefinisikan Islam sebagai agama mistis dan agama profetis. Sebagai agama mistis, Islam merupakan pemahaman atau keyakinan personal setiap muslim atas apa yang diyakininya dalam doktrin Islam. Pemahaman seorang muslim terhadap doktrin agama sangat luas dan beragam sehingga memberikan keluasan makna dan warna terhadap Islam. Satu hal yang tak dapat dipungkiri, Islam mistis ternyata memberikan sikap keterbukaan (insklusif) terhadap perbedaan keyakinan.

Sebagai agama profetis, Islam merupakan pengejawantahan lebih lanjut dari pola perilaku dan pemahaman Nabi Muhammad terhadap perintah Tuhan dalam al-Qur’an. Dengan pendekatan fenomenologisnya, Schimmel sendiri cenderung berangkat dari Islam sebagai agama mistis. Hal ini tidak terlepas dari penghayatan dan pengetahuannya terhadap tokoh sufi Islam seperti Jalaludin Rumi, Beyazid al-Bustomi, Rabi’ah al-Adawiyah, Sofyan Syauri, Ibn ‘Arabi, dan lain sebagainya.

Dalam bukunya di atas, Schimmel memberikan beberapa aspek mistis dalam Islam seperti alam tak bernyata, ruang suci, tindakan suci, serta eksistensi firman Allah.
a.       Alam tak bernyawa
Pemahaman masyarakat Islam terhadap alam tak bernyawa berangkat dari keagungan dan kesucian alam kosmos atau alam kebendaan yang memiliki sifat magis seperti bebatuan. Walaupun masyarakat peradaban lain juga meyakini hal yang sama seperti mitologi tentang tempat suci atau batu suci. Banyak tokoh sufi yang juga mengkramatkan bebatuan seperti batu luh (tempat ditulisnya Ten Commandments) Nabi Musa, Hajar al-Aswad (batu hitam), batu kubah tempat Rasulullah mi’raj, batu ka’bah, dan lain sebagainya.
Bebatuan sebagai salah satu bentuk alam tak bernyawa ternyata menempati tempat penting dalam struktur kepercayaan masyarakat muslim.
b.      Ruang suci
Umat Islam memiliki pemahaman yang luas tentang ruang suci atau tempat keramat sebagaimana diyakini masyarakat secara umum. Ruang suci merujuk pada tempat suci seperti masjid atau gua. Nabi Muhammad sendiri mendapatkan wahyu di sebuah gua. Pada tahun selanjutnya, gua dijadikan oleh para sufi sebagai tempat mendekatkan diri pada Tuhan.
c.       Tindakan suci
Tindakan memiliki padanan kata ‘amal. Tindakan suci mengarah pada perbuatan manusia yang mempunyai implikasi pengabdian pada Tuhan. Islam sendiri mengajarkan umatnya untuk melakukan tindakan yang baik dan bermanfaat. Nabi Muhammad merupakan representasi tindakan-tindakan yang suci sehingga disebut sebagai uswah al-hasanah. Tindakan shalat, berpuasa, ibadah haji, dan tindakan lain yang termasuk dalam rukun Islam merupakan tindakan suci. Walaupun demikian, tindakan suci tidak terbatas pada hal itu. Beberapa tindakan manusia untuk meningkatkan kualitas kemanusiaannya di dunia dipahami juga sebagai tindakan suci apabila membawa implikasi pada ketundukan manusia pada Tuhannya.
d.      Firman Tuhan
Firman Tuhan dalam al-Qur’an, menurut Schimmel, adalah cara Tuhan mengungkapkan diri dan kehendaknya sehingga manusia mampu memahami keinginan dan eksistensi Tuhan.

(disalin dari diktat kuliah Orientalisme, Bambang Wahyu File)

No comments :

Post a Comment