ORIENTALISME
BAHAN AJAR MATA
KULIAH ORIENTALISME
FAKULTAS AGAMA
ISLAM UNIVERSITAS IBN KHALDUN 2009
Pendahuluan
Perbincangan tentang orientalisme telah menjadi wacana umum di
masyarakat akademis Indonesia baik yang berkonotasi negatif atau positif. Biasanya
fenomena itu dihubungkan dengan kondisi sosiologis masyarakat Islam serta
pengaruh pemikiran orientalisme terhadap eksistensi agama Islam.
Orientalisme berasal dari kata orient yang berarti “timur”, lawannya occident yang bermakna “barat”. Walaupun demikian, pemaknaan kedua kata ini tidak terbatas pada letak geografis dan teritorial. Penggunaan kata orient lebih bermakna budaya, bangsa, mentalitas, sistem kepercayaan, dan agama yang dianut oleh masyarakat Timur. Oleh sebab itu, negara-negara Timur Tengah masuk dalam kategori orient. Labelisasi orient pada bangsa-bangsa Timur lebih dikarenakan pandangan hegemoni Barat yang menganggap dunia Timur sebagai dunia primitif, belum mengenal peradaban, terbelakang tapi kaya dengan kkazanah budaya, agama, bahan rempah, peningggalan bersejarah, dan artefak seni. Hubungan yang tidak similar ini mengakibatkan pandangan chauvinisme Barat yang beranggapan bahwa dunia Timur akan maju jika dimasuki pandangan Barat tentang kehidupan, tentang manusia, dan tentang masyarakat.
Berdasarkan sudut pandang ini dapat dikemukakan bahwa orientalisme
adalah peradaban dan kebudayaan Timur yang memiliki keunikan budaya,
manusia, mentalitas, sistem kepercayaan dan religi, sistem kehidupan, dan
pandangan dunia. Dengan demikian, orientalisme harus didekati dari
perspektif ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang keunikan dan kekhasan dunia
Timur tersebut. Sebagai salah satu varian dari ilmu sosial (human sciencies),
pendekatan orientalisme murni dalam paradigma ilmu sosial melalui teori-teori,
konsep, dan sistem pemikiran Barat baik yang dikemukakan Emile Durkheim,
Ferdinand Tonnies, Pitirim Sorokin, Splengler, Arnold Toynbee, Immanuel
Willerstein, Andre Gunther Frank, Talcott Parsons, dan lain sebagainya.
Dalam sejarah orientalisme, kajian-kajian Barat terhadap dunia Timur
memiliki tujuan ideologis yaitu ingin menjajah untuk mengeruk kekayaan alamnya.
Slogan imperialisme kuno, gospel, gold, glory menunjukkan tujuan
ideologis itu yaitu penyebaran agama (kristiani), mencari kekayaan, serta
kejayaan supremasi dunia Barat. Penjelajahan bangsa Spanyol, Portugis, Inggris,
Prancis, Belanda ke seluruh pelosok dunia berangkat dari slogan serupa (bedakan
dengan ekspansi Cina dan negara Arab yang memiliki motivasi dagang). Motif
ideologis kemudian berganti menjadi motif ekonomi ketika tanah jajahan
mengandung kekayaan yang berlimpah. Secara umum, motivasi ini yang melandasi
kajian-kajian orientalisme di seluruh dunia (tidak hanya di dunia Islam).
Uniknya dalam peta politik global dewasa ini, Islam menjadi kekuatan
baru baik dalam politik, ideologi, sosial, ekonomi, bahkan kebudayaan. Samuel
Huntington menyebutkan akan terjadi benturan antara peradaban Barat dengan
Islam, yang disebutnya sebagai “benturan peradaban” (clash of civilisation).
Hal ini membuat Islam menjadi kekuatan baru dunia yang sangat dikhawatirkan
peradaban Barat untuk mempertahankan hegemoninya. Secara ilmiah dan dalam ranah
pemikiran, Islam mampu menawarkan model berpikir baru yang menghantam model
berpikir Barat yang materialis dan liberal. Islam yang berangkat dari doktrin
agama ternyata mampu memberdayakan sistem ajarannya (al-Qur’an dan as-Sunnah)
menjadi paradigma berpikir. Berbeda dengan peradaban Barat yang sekuler dan
anti agama. Walaupun bersifat sporadis, pemikir-pemikir Islam berusaha
memperkuat sistem pemikiran keislaman (Islamic thought) sebagai landasan
ideal masyarakat Islam untuk memajukan peradaban Islam. Serangkaian pemikiran
ini kemudian diarahkan untuk mengkaji peradaban Barat yang disebut
Oksidentalisme. Tokoh-tokoh seperti Muhammad Arkoun, Hasan Hanafi, Isa J.
Boullata, Ismail Raji al-Faruqi, dan lain-lain berasumsi bahwa hubungan
peradaban Islam dengan Barat harus seimbang. Jika Barat memiliki kepentingan
dengan melakukan kajian terhadap Islam maka Islam pun melakukan hal yang sama.
Pengertian Orientalisme
Secara akademis, orientalisme merupakan kajian-kajian Barat terhadap
kebudayaan, peradaban, tradisi, agama, dan sistem kepercayaan yang dimiliki
oleh masyarakat Timur yaitu kebudayaan India, Cina, Jepang, Arab, Persia,
Melayu, dan Afrika. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, kajian orientalisme
mempunyai muatan ideologis yaitu asumsi bangsa Barat tentang bangsa Timur yang
primitif, terbelakang, eksotis, dan membutuhkan bantuan untuk maju. Ada
beberapa asumsi yang dilakukan orientalisme, yaitu:
1.
Asumsi
ideologis dan politik
Dalam asumsi
ideologis-politik, bangsa Barat beranggapan bahwa kebudayaan yang mereka miliki
sangat superior sedangkan bangsa di luar sangat inferior. Hal ini memberikan
peluang bagi Barat untuk menata kepentingan politiknya secara luas. Ideologi
dan tatanan politik yang berasal dari Barat dianggap sangat bagus dan tidak
boleh dikritik. Begitu juga dengan tatanan kehidupan sosial masyarakat Barat
yang menyebutkan bahwa mereka masyarakat maju.
2.
Asumsi
ekonomi
Dalam asumsi
ekonomi, orientalisme menyebutkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat Barat
jauh lebih bagus dibandingkan belahan dunia lain yang terbelakang dan miskin.
Walaupun demikian, kekayaan alam yang dimiliki dunia Timur sangat fantastis.
Barat yang mengalami keterbatasan sumber daya alam membutuhkan pasokan yang
aman dari Timur. Dengan demikian, ekspansi ekonomi harus dilakukan untuk
mengamankan pasokan sumber daya tersebut.
3.
Asumsi
budaya
Budaya Barat
yang disebut Eurosentrisme sangat memukau dan fantastis. Gaya hidup
dijadikan teladan bagi masyarakat dunia lain yang menginginkan kecukupan
materi. Dengan demikian, dunia Barat mengimpor gaya hidup dan budayanya ke
masyarakat Timur agar merasakan kemajuan dunia yang diingini banyak orang.
Asumsi inilah yang
menjadi alasan rasional Bangsa Barat melakukan pengkajian terhadap dunia dan
kebudayaan Timur. Dengan demikian, mereka memiliki pengetahuan dan pemahaman
yang mendalam tentang dunia Timur dan dapat mengendalikannya sesuai dengan
keinginan mereka. Isu-isu seperti HAM, lingkungan hidup, gender, demokrasi, nation-state
dijadikan senjata untuk menata kehidupan masyarakat Timur. Jika masyarakat atau
negara Timur tidak mau atau tidak menyepakati isu-isu yang diwacanakan secara
global ini maka negara itu akan dikucilkan dari pergaulan internasional.
Kajian Barat terhadap
Indonesia atau Islam Indonesia sudah dimulai sebelum era kemerdekaan (era
kolonialisme). Yang terkenal masa itu adalah Snouck Horgronje di Aceh, L.
Stoddard, dan lain sebagainya. Tradisi ini terus berlanjut mulai dari George T.
Kahin, Clifford Geertz, Cindy Adams, Robert Heffner, Martin Van Bruissen, dan
lain sebagainya.
Salah satu orientalisme yang dikenal luas di Indonesia adalah Clifford
Geertz yang secara intensif melakukan penelitian keagamaan. Dalam penelitian di
Pare, Mujokuto Jawa Timur, Geertz menghasilkan sebuah teori tentang peran
kelompok agama kelas menengah yang mampu memberi warna dan perubahan pada
tatanan kehidupan politik masyarakat. Penelitian tentang politik aliran
masyarakat Islam ini melahirkan kategorisasi tentang abangan, santri. Priyayi
sebagai kelompok sosial yang berperan aktif menumbuhkan aspirasi politik
masyarakat Islam.
Dalam penelitiaanya di Tabanan, Bali tentang kasta Hindu, Geertz
menyimpulkan terjadinya kerja sama di antara kelompok masyarakat dalam
mengukuhkan kekuasaannya. Biasanya terjadi antara kelompok penguasa dan agama.
Menurut Geertz, kelompok kesatria dalam kasta Hindu yang selalu menjadi
kelompok penguasa selalu membutuhkan legitimasi dari kasta brahma sebagai
kelompok agama, begitupun sebaliknya.
Beberapa Kajian Orientalisme Tentang Islam
1.
Bernard Lewis tentang Bahasa Politik Islam
Dalam bukunya Bahasa
Politik Islam, Lewis menyebutkan bahwa Islam secara politik telah mengalami
banyak perubahan. Bahasa politik yang digunakan masyarakat untuk
mengekspresikan kepentingan politiknya tidak didasarkan pada al-Qur’an dan
as-Sunnah tapi dipengaruhi oleh kebudayaan Romawi, Persia, dan Arab. Memang
Lewis masuk dalam kategori orientalis yang “belum seimbang” dalam memandang
Islam. semangat yang dihasilkannya justru mendiskreditkan umat Islam. Walaupun
demikian, ia mengakui bahwa di negara yang mayoritas penduduknya Islam, ajaran
al-Qur’an dan as-Sunnah menjadi identitas diri dan kolektif yang paling dominan
serta mengikat loyalitas kelompok masyarakat.
Menurut Lewis,
pertumbuhan bahasa politik Islam berkaitan erat dengan pertumbuhan Islam
sendiri sebagai agama karena ada adagium “Islam sebagai din wa siyasah”.
Dengan kata lain, bahasa politik merupakan bagian integral dari bahasa agama.
Hal ini sudah dimulai ketika Rasulullah merumuskan negara Madinah yang kemudian
dilanjutkan Khulafar Rasyidin. Terminologi politik pada masa ini sangat
identik dengan bahasa agama. Tapi pada masa Dinasti Umayyah mulai terlihat
pemisahan antara bahasa politik dengan bahasa agama. Bahasa politik Islam pun
menggunakan idiom atau terminologi baru yang maknanya terpisah dengan doktrin
agama.
Pertimbangan
politis menjadi referensi dalam menggunakan bahasa politik baik yang digunakan
ulama vis a vis penguasa atau pemberian idiom patronase bagi penguasa.
Lewis menyatakan bahwa referensi utama bahasa politik Islam adalah bahasa Arab
(selain bahasa Persia dan Turki). Dikarenakan al-Qur’an dan as-Sunnah
membicarakan politik secara umum maka makna politik dicari padanannya yang
sesuai dengan bahasa Arab secara lebih spesifik. Idiom ini menyebar dan melekat
ke berbagai wilayah muslim (Benua India, Asia Tenggara, Afrika) di mana terjadi
adopsi idiom, istilah, dan jargon politik yang sebenarnya berkenaan dengan
pengalaman politik masyarakat Semenanjung Arabia. Penggunaan kata Sharif atau
Sultan untuk penguasa di Asia Tenggara menunjukkan bagaimana idiom dan
istilah politik Islam mampu mempengaruhi perilaku politik di belahan dunia
lain.
Di samping
bahasa Arab, bahasa Turki dan Persia memiliki andil besar dalam memperkaya
khazanah bahasa politik Islam. Hal ini disebabkan pergeseran geo-politik dan
pusat kekuasaan Islam dari semenanjung Arab ke wilayah Timur Tengah.
Kebangkitan Dinasti Safawid di Iran dan Ustmaniyah di Turki memunculkan istilah
dan jargon baru dalam politik Islam.
Dalam era
modern, menurut Lewis, istilah dan jargon bahasa politik Islam tidak terdapat
dalam khazanah bahasa Arab, Turki, atau Persia. Pengambilalihan dilakukan dari
bahasa Barat sehingga banyak konsep, istilah, dan institusi politik Islam tidak
lagi dikenal oleh khazanah politik Islam. Dalam situasi ini, bahasa politik
rawan mengalami perubahan jika dibandingkan dengan bahasa agama (terutama dalam
istilah fiqih). Tapi perubahan bahasa politik Islam pada masa modern lebih
banyak disebabkan infiltrasi Barat melalui pemaksaan konsep dan ideologi (yang
luput dibahas oleh Lewis).
Lewis memberikan
jalan tengah. Salah satu cara untuk memahami perubahan bahasa politik Islam
melalui:
a. Bagaimana istilah atau konsep itu digunakan dan
dipahami oleh masyarakat Islam.
b. Bagaimana pilihan alusi atau metafora politik yang
diambil.
2.
Hiroko Horikoshi Tentang Peran Ulama Dalam Perubahan Sosial
Dalam sejarah
perdaban Islam, ulama sering menampakkan diri sebagai pemimpin gerakan
pembaharu sosial-politik. Alasannya: 1) kenyataan bahwa ulama secara historis
menganggap dirinya sebagai titik fokus kesadaran moral Islam, 2) ulama berdiam
diri di mesjid dan madrasah yang notabene merupakan tempat berkumpulnya
masyarakat secara teratur. Di situ kemudian ulama membicarakan masalah yang
dihadapi oleh masyarakat dan negara.
Di masyarakat
desa (Indonesia dan negara Islam lainnya), menurut Hirokoshi, ulama berhasil
mempertahankan kedudukannya serta menegakkan institusi keagamaan dalam rangka
mencapai tujuan-tujuan agama dan menjabarkan secara luas doktrin Islam.
Pemahaman masyarakat desa terhadap keluhuran akhlak ulama dan keluasan ilmunya
menjadi sandaran untuk mempertanyakan hal-hal yang berkaitan dengan ibadah
mahdah dan ghair mahdah. Ulama juga memberikan pengajaran tentang aspek
keduniaan dan keakhiratan sehingga masyarakat pedesaan mampu memahami doktrin
Islam secara utuh.
Menurut
Hirokoshi, proses islamisasi di masyarakat pedesaan Indonesia secara struktural
dilakukan oleh tiga komponen, yaitu: a) kesultanan yang notabene memiliki
kekuatan maritim sehingga memungkinkan proses penaklukan kerajaan dan wilayah
kecil di sepanjang pantai Jawa sampai ke pedalaman, b) ulama asing yang
diterima secara baik dan memiliki jabatan strategis di kesultanan Islam tanah
Jawa, dan c) ulama sufi yang secara aktif melakukan dakwah dari daerah pesisir
ke pedalaman Jawa. Dalam rangka mempercepat penerimaan di masyarakat, banyak
ulama melakukan sinkretisme (penggabungan) antara doktrin agama dengan
kebiasaan masyarakat seperti menyembuhkan penyakit dengan kekuatan magis, dan
lain sebagainya.
Masyarakat
pedesaan di Indonesia memiliki kecenderungan untuk memperjuangkan simbol
penyatuan kelompok masyarakat. Dalam hal ini, ulama atau kyai dapat menjadi
simbol pemersatu itu. Ada beberapa fungsi yang dapat diperankan ulama bagi
masyarakat:
a. Sebagai simbol pemersatu masyarakat
b. Sebagai benteng masyarakat menghadapi arus
sekularisasi
c. Sebagai garda depan perubahan sosial.
Seorang ulama mempunyai karisma dan kemampuan untuk
membaca arah pikiran jemaahnya dan masyarakat. Ia harus mampu menjelaskan
masalah teologi yang sulit kepada para petani sesuai dengan pemahaman mereka.
Ulama juga menjadi tempat bertanya untuk memecahkan berbagai persoalan hidup
yang dihadapi masyarakat desa itu. Dalam rangka mengukuhkan otoritas dan
kewibawaannya, ulama biasanya mencipta sebuah lembaga atau institusi yang
disebut pesantren. Hal ini dilakukan untuk memantapkan sistem ajaran yang telah
diajarkan serta menjaga kesinambungannya dalam jangka panjang. Dengan demikian,
patron yang satu meninggal dapat dilanjutkan oleh patron yang lain. Dalam hal
ini sistem ulama mempunyai mekanisme pewarisan khusus atas dasar sistem
kekeluargaan.
Dalam rangka mempertahankan kemurniaan ajaran Islam,
banyak ulama yang menentang sistem pemerintah sekuler yang berlaku. Pelestarian
ajaran Islam yang komprehensif seringkali berbenturan dengan sistem pemerintah.
Sistem pemerintah biasanya cenderung memaksakan perubahan gaya hidup melalui
jaringan politik dan ideologi. Nah, ulama dengan institusi pesantren biasanya
memberikan pelajaran bahwa masyarakat masih diikat oleh sistem paguyuban yang
erat dan belum bisa dipengaruhi dari luar. Kemahiran ulama dalam memainkan
simbol ideologi dan agama mampu memberikan rasa aman bagi masyarakat dalam
memenuhi ekspektasi sosial, memperhatikan kesejahteraan ekonomi, serta tujuan
agama.
Dalam hal ini, Hiroko Horikoshi telah mampu memberikan
identitas bagi ulama sebagai:
a. Agen perubahan sosial
b. Problem solving (pemecah masalah yang dihadapi
masyarakat)
c. Decision making (pembuat keputusan strategis bagi
masyarakat)
3.
Marshal G. Hodgson Tentang Islam Sebagai Venture
Dalam bukunya The
Venture of Islam, Hodgson menyebutkan Islam sebagai agama penjelajah
(sebagai venture). Islam sebagai venture merupakan metode Hodgson
untuk mengkritisi etnosentrisme Barat dalam memahami Islam di mana Islam hanya
dipahami sebagai seperangkat doktrin keyakinan yang tidak mengimbas pada
kehidupan sosial. Menurut Hodgson, sebagai venture, Islam adalah sistem
keyakinan dan sistem sosial. Islam sebagai venture adalah keyakinan
fundamental masyarakat Islam atas kehidupan sosial sebagaimana yang diajarkan
oleh Nabi Muhammad SAW sehingga Islam menampilkan diri sebagai ajaran yang
benar dan berlaku universal.
a. Sebagai sistem keyakinan, Islam merupakan manifestasi
dari doktrin yang termaktub dalam al-Qur’an dan ajaran Rasulullah tentang
bagaimana manusia menjalani kehidupan secara baik sehingga memperoleh kebaikan
dunia dan akhirat.
Sumber keyakinan
semua masyarakat Islam adalah pengakuan terhadap Allah SWT sebagai pemilik
absolut seluruh alam di mana manusia merupakan salah satubagian darinya. Ini
menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk mengembangkan peradaban Islam yang
luas.
b. Sebagai sistem sosial, Islam memberikan pemahaman
bagaimana merekayasa sistem kemasyarakatan sehingga mampu memberikan pandangan
tentang kehidupan sosial yang luas. Ajaran Islam yang tidak berubah dan mampu
beradaptasi dengan lingkungan sosial diibaratkan Hodgson dengan “resep
tradisional kue kering pada hari lebaran”. Menurutnya,
“tradisi
kultural Islam diibaratkan dengan sebuah resep tradisional untuk kue kering
pada haru raya yangtelah disampaikan secara bertahun-tahun dan antar generasi
yang tidak pernah berubah dari ibu ke anak dan selanjutnya selama beberapa
generasi”. Jika resep itu semata-mata transmitif atau kebiasaan belaka maka
perubahan kondisi bisa saja mencampakkan resep itu, paling tidak ketika ibu
meninggal. Tapi karena pentingnya eksistensi kue dalam setiap hari raya untuk
memenuhi kebutuhan maka tradisi itu berlanjut, tumbuh, dapat disesuaikan dengan
kebutuhan lingkungan.
Dalam hal
ini, Islam dapat didefinisikan sebagai sebuah komitmen pada petualang (venture)
kemana visi dan misi Nabi Muhammad mengarah. Yang secara konkrit bermakna
sumpah setia kepada Rasulullah dan kitab-Nya, kemudian kepada komunitas
(masyarakat Islam awal) Muhammad terhadap apa-apa yang telah diwariskan kepada
generasi selanjutnya. Islam sebagai sistem sosial diperlakukan sebagai
perjalanan kesadaran nurani manusia yang bersifat batiniah untuk mencipta
peradaban materi sekaligus impersonal.
Dalam hal ini, Hodgson membedakan antara Islam sebagai
ajaran keimanan dengan Islam sebagai sejarah. Kesalahan sikap etnosentrisme
Barat adalah menyamakan antara keduanya sehingga sering terjebak pada penyamaan
antara Islam sebagai agama dan budaya.
Satu istilah menarik yang dikemukakan Hodgson adalah Islamdom
yaitu masyarakat Islam yang secara spesifik mengembangkan kebudayaan dan
peradaban Islam. Islam menjadi frame of reference yang berlaku umum dan
dominan sehingga menjadi dasar membentuk kebudayaan masyarakat itu. Dalam
konteks ini, Islam tidak pernah sama betul antar wilayah dan kebudayaan.
Perbedaan pola pandang dan pemahaman atas doktrin agama melahirkan Islam yang
kaya warna. Islam historis sebagaimana diyakini Hodgson dapat menjadi dasar
untuk membentuk masyarakat yang beradab, inklusif, dan menghasilkan karya nyata
yang mencengangkan. Dalam hal ini, wacana pluralisme dan inklusivisme bahkan
menjadi bagian untuk membangun peradaban Islam.
4.
Annemarie Schimmel Tentang Pendekatan Fenomenologis Terhadap Islam
Pendekatan
fenomenologis atau fenomenologi agama sebagaimana diyakini Schimmel adalah
memasuki jantung pemahaman masyarakat Islam sendiri secara langsung terhadap
sistem ajaran Islam. Islam dipahami sebagai sebuah fenomena yang diyakini dan
dibenarkan oleh pemeluknya sehingga melahirkan pola perilaku dan sikap
menghadapi kehidupan dunia.
Dalam bukunya Deciphering
the Sign of God (Rahasia Wajah Suci Ilahi), Schimmel mendefinisikan Islam
sebagai agama mistis dan agama profetis. Sebagai agama mistis, Islam merupakan
pemahaman atau keyakinan personal setiap muslim atas apa yang diyakininya dalam
doktrin Islam. Pemahaman seorang muslim terhadap doktrin agama sangat luas dan
beragam sehingga memberikan keluasan makna dan warna terhadap Islam. Satu hal
yang tak dapat dipungkiri, Islam mistis ternyata memberikan sikap keterbukaan
(insklusif) terhadap perbedaan keyakinan.
Sebagai agama
profetis, Islam merupakan pengejawantahan lebih lanjut dari pola perilaku dan
pemahaman Nabi Muhammad terhadap perintah Tuhan dalam al-Qur’an. Dengan
pendekatan fenomenologisnya, Schimmel sendiri cenderung berangkat dari Islam
sebagai agama mistis. Hal ini tidak terlepas dari penghayatan dan
pengetahuannya terhadap tokoh sufi Islam seperti Jalaludin Rumi, Beyazid
al-Bustomi, Rabi’ah al-Adawiyah, Sofyan Syauri, Ibn ‘Arabi, dan lain
sebagainya.
Dalam bukunya di
atas, Schimmel memberikan beberapa aspek mistis dalam Islam seperti alam tak
bernyata, ruang suci, tindakan suci, serta eksistensi firman Allah.
a. Alam tak bernyawa
Pemahaman
masyarakat Islam terhadap alam tak bernyawa berangkat dari keagungan dan
kesucian alam kosmos atau alam kebendaan yang memiliki sifat magis seperti
bebatuan. Walaupun masyarakat peradaban lain juga meyakini hal yang sama
seperti mitologi tentang tempat suci atau batu suci. Banyak tokoh sufi yang
juga mengkramatkan bebatuan seperti batu luh (tempat ditulisnya Ten
Commandments) Nabi Musa, Hajar al-Aswad (batu hitam), batu kubah tempat
Rasulullah mi’raj, batu ka’bah, dan lain sebagainya.
Bebatuan sebagai
salah satu bentuk alam tak bernyawa ternyata menempati tempat penting dalam
struktur kepercayaan masyarakat muslim.
b. Ruang suci
Umat Islam
memiliki pemahaman yang luas tentang ruang suci atau tempat keramat sebagaimana
diyakini masyarakat secara umum. Ruang suci merujuk pada tempat suci seperti
masjid atau gua. Nabi Muhammad sendiri mendapatkan wahyu di sebuah gua. Pada
tahun selanjutnya, gua dijadikan oleh para sufi sebagai tempat mendekatkan diri
pada Tuhan.
c. Tindakan suci
Tindakan
memiliki padanan kata ‘amal. Tindakan suci mengarah pada perbuatan
manusia yang mempunyai implikasi pengabdian pada Tuhan. Islam sendiri
mengajarkan umatnya untuk melakukan tindakan yang baik dan bermanfaat. Nabi
Muhammad merupakan representasi tindakan-tindakan yang suci sehingga disebut
sebagai uswah al-hasanah. Tindakan shalat, berpuasa, ibadah haji, dan
tindakan lain yang termasuk dalam rukun Islam merupakan tindakan suci. Walaupun
demikian, tindakan suci tidak terbatas pada hal itu. Beberapa tindakan manusia
untuk meningkatkan kualitas kemanusiaannya di dunia dipahami juga sebagai
tindakan suci apabila membawa implikasi pada ketundukan manusia pada Tuhannya.
d. Firman Tuhan
Firman Tuhan
dalam al-Qur’an, menurut Schimmel, adalah cara Tuhan mengungkapkan diri dan
kehendaknya sehingga manusia mampu memahami keinginan dan eksistensi Tuhan.
(disalin dari diktat kuliah Orientalisme, Bambang Wahyu File)
No comments :
Post a Comment