ZISWAF: LEBIH DARI SEKADAR FILANTROPI
Tiar Anwar Bachtiar
Mendiskusikan apa yang dalam istilah Islam disebut sebagai “zakat”, “infak”, “shadaqah”, dan “wakaf” (selanjutnya disingkat menjadi Ziswaf) dalam konteks kekinian terasa sudah menjadi kebutuhan. Apalagi dikaitkan dengan tantangan kesejahteraan social yang di Indonesia masih menjadi persoalan serius. Negara yang menjadi pemangku amanah utama untuk mewuudkannya dianggap belum berhasil. Salah satu indikasinya adalah angka kemiskinan yang masih tinggi dan ketimpangan (gap) antara kaya dan miskin sangat menyolok. Oleh sebab itu, pelembagaan dan massifikasi Ziswaf menjadi salah satu sarana untun mencari solusi mengatasi problem kesejahteraan sosial yang masih timpang.
Studi mengenai Ziswaf di Indonesia secara akademik masih sangat muda. Belum banyak riset yang dibuat dalam subjek ini. Merujuk pada Hilman Latief dalam Melayani Umat: Ideologi Kesejahteraan Kaum Modernis (2010: 26-27), untuk kasus Indonesia kajian terpublikasi mengenai praktik pelaksanaan Ziswaf yang dalam buku Latief ini disebut sebagai “filantropi Islam” baru terlihat pada dua publikasi. Keduanya dalam bentuk tulisan bersama; masing-masing dieditori oleh Idris Thaha dan Chaidar Bamualim bersama Irfan Abu Bakar. Karena minimnya kajian akademik pada subjek ini, buku yang ditulis Hilman Latief yang meyorot secara khusus Ziswaf di lingkungan Muhammadiyah menjadi salah satu sumbangan penting yang patut diapresiasi.
Dalam buku ini, secara cukup mengesankan, praktik Ziswaf yang dilakukan Muhammadiyah dikaitkan dengan konteks pewujudan kesejahteraan di Indonesia. Oleh sebab itu, selain dapat menemukan pelajaran dari praktik Ziswaf beserta implementasinya di Muhammadiyah, para pembacanya juga akan disuguhi perspektif yang lebih luas dalam konteks diskursus kesejahteraan sosial di negeri ini. Perspektif ini akan memberikan inspirasi bagi lembaga-lembaga yang bergerak di bidang sosial seperti Muhammadiyah untuk menempatkan apa yang mereka lakukan dalam konteks yang lebih luas, yaitu kesejahteraan rakyat Indonesia secara keseluruhan; bahkan dengan kesejahteraan umat manusia pada umumnya. Dengan perspektif ini, kemunculan puluhan lembaga Ziswaf tidak akan dilihat sebagai persaingan dan perebutan lahan, melainkan sebagai mitra strategis dalam mewujudkan kesejahteraan sosial seluruh rakyat Indonesia secara keseluruhan sebagaimana dicita-citakan para pendiri negara ini.
Banyak hal yang bisa didiskusikan lebih lanjut dari buku Latief di atas. Salah satu yang kelihatannya cukup penting diperbincangkan adalah mengenai pemilihan istilah “filantropi Islam” untuk Ziswaf. Sekalipun sepintas barangkali tidak ada masalah, namun istilah inilah yang mengerangkai kajian dalam buku tersebut sehingga pemilihan istilah ini menjadi cukup krusial. Oleh sebab itu, dalam makalah yang singkat ini, masalah ini akan menjadi salah satu sorotan utama untuk melihat spektrum yang lebih luas nantinya.
***
Dalam buku di atas, Latief secara eksplisit menyebutkan perbedaan mendasar antara istilah “filantropi” yang diterjemahlannya sebagai kedermawanan dengan Ziswaf yang ada di dalam Islam. Mengenai filantropi disebutkan:
Istilah filantropi sendiri berasal dari bahasa Latin “philanthropia” atau bahasa Yunani “philo”dan “anthopos” yang berarti “cinta manusia”. Filantropi adalah kepedulian seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain berdasarkan kecintaan kepada sesama manusia. Filantropi kerap diekspresikan dengan cara menolong orang-orang yang membutuhkan. Namun falsafah filantropi tidak selalu memiliki makna yang sama antara satu budaya dengan budaya lainnya. Misalnya, makna harfiah filantropi dalam tradisi Cina, sebagaimana ditulis Andrew Ho, adalah “compassionate good work” atau sikap baik yang dilatarbelakangi oleh rasa kasihan dan simpati. Makna ini berbeda dengan konsep Barat, yang mengartikannya “love of mankind” atau rasa cinta kepada manusia. (hal. 34).
Baca selengkapnya DISINI
Baca selengkapnya DISINI
No comments :
Post a Comment