Akal
dan posisinya dalam Islam:
Kritik
terhadap Rasionalisme Mu'tazilah versi Prof. Dr. Harun Nasution
(Henri
Shalahuddin, MA)
Kedudukan akal
dalam Islam menempati posisi yang sangat terhormat, melebihi agama-agama lain.
Sebagai risalah Ilahiyyah terakhir, Islam mempersyaratkan kewajiban menjalankan
agama bagi orang yang berakal. Artinya, orang yang hilang akalnya tidak
diwajibkan mengerjakan perintah atau menjauhi larangan-Nya (takalif).
Dalam al-Qur'an,
kata-kata yang berakar
pada 'aql bertaburan
di berbagai surat. Kata-kata: afala ta'qilun (Maka
tidakkah kamu menggunakan
akalmu?; Tidakkah kamu
berfikir?) terulang dalam al-Al-Qur'an
tidak kurang dari
13 kali. Kata la'allakum ta'qilun (agar kamu mengerti/memahami) terulang
sekitar 8 kali; li qaumin ya'qilun (untuk kaum yang menggunakan akalnya/memikirkan)
sekitar 8 kali; belum lagi kata-kata na'qilu,
ya'qiluna
biha, ya'qiluha,
takunu
ta'qilun,
dsb.
Penghargaan
terhadap akal yang sedemikian agung dalam Islam, bukan berarti akal dibiarkan bebas berkelana
liar tanpa batas
dan arahan, terutama
saat berhadapan dengan ketentuan wahyu. Dalam aliran
teologi Islam, dikenal
madzhab Mu'tazilah yang kerap
kehilangan kendali dalam pengagungannya terhadap kedudukan akal.
Bahkan seringkali wahyu pun harus "tunduk" mengikuti kehendak akal
manusia, seperti terlihat jelas dalam konsep baik dan buruk menurut Mu'tazilah
yang didasarkan pada akal (al-Íusnu
wal qubÍu 'aqliyÉni),
ketidakberdayaan Tuhan melakukan hal-hal yang "buruk",
hingga urusan surga dan neraka yang seharusnya menjadi hak mutlak Tuhan pun di atur
oleh akal, seperti yang tersusun dalam konsep al-ihbat
wa l-takfir.
Penghargaan berlebihan
terhadap akal juga
sangat mendominasi prinsip-prinsip keimanan Mu'tazilah yang
lima (al-uÎËl al-khamsah), seperti
prinsip tauhid, adil,
janji dan ancaman, kedudukan di antara dua kedudukan
dan amar ma'ruf nahi munkar.
Sementara itu,
(alm) Prof. Harun Nasution justru menjunjung tinggi
paham Mu'tazilah. Ini terlihat jelas
saat beliau menulis desertasi
S3-nya yang berusaha menghidupkan kembali
tradisi rasional Mu'tazilah melalui pembaharu Mesir, Muhammad Abduh
dengan tema Posisi Akal dalam Pemikiran Teologi Muhammad
Abduh. Dalam
membandingkan antara Mu'tazilah dan Asy'ariyah, Harun telah berasumsi terlebih
dahulu bahwa pemikiran Mu'tazilah lebih maju dan berharap supaya pemikiran
Asy'ariyah diganti karena menggunakan metodologi tradisonal. Dalam tulisannya,
Harun menyatakan:
"Sejak awal
di McGill, aku
sudah melihat pemikiran
Mu'tazilah maju sekali.
Kaum Mu'tazilah lah
yang bisa mengadakan
satu gerakan pemikiran
dan peradaban Islam. Selanjutnya
malah mendirikan unversitas di
Eropa. Ini yang membuatku berfikir: kalau Islam zaman
dulu begitu, mengapa Islam sekarang tidak. Sebaiknya Islam zaman sekarang lebih didorong
lagi ke sana
Sejak itu
harapanku cuma satu:
pemikiran Asy'ariyah mesti
diganti dengan pemikiranpemikiran mu'tazilah, pemikiran
para filosof atau pemikiran rasional.
Atau dalam istilah sekalang,
metodologi rasional Mu'tazilah.
Sebaliknya, metodologi tradisional
Asy'ariyah harus diganti"
Dalam
makalahnya, penulis telah mengkaji sejauh mana keabsahan pendapat Prof. Dr.
Harun Nasution dalam karyanya:
Islam ditinjau dari berbagai aspeknya,
yang lebih menjunjung paham Mu'tazilah
dari pada Asy'ariyah mengenai posisi akal? Bagaimanakah sebenarnya paham
Mu'tazilah dan Asy'ariyah memposisikan akal dan wahyu? Dan Apakah definisi akal
sebenarnya? Jawabannya bisa Anda dapatkan dalam makalah yang bisa didownload pada
link di bawah ini
No comments :
Post a Comment