Akhir
Sebuah Cerita
Entah apa yang
menyelimuti hati, ketika aku berkomunikasi kembali dengan seseorang dari masa
lalu. Ada perasaan takut, takut yang teramat sangat. Aku merasa takut
kehilangan seseorang di masa kini yang selalu menghiasi hari-hari setelah
‘orang dari masa lalu’ itu pergi. Sebenarnya bukan hanya itu yang membuat
perasaan takut kehilangan. Akhir-akhir ini aku sering menatap lekat-lekat wajah
kedua orang tuaku saat kami berbincang. Aku menyadari, wajah keduanya semakin
menua, namun beban yang beliau tanggung belum juga meringan. Aku ingin ikut
membantu keduanya hingga beban itu berkurang sedikit demi sedikit. Tapi,
masalah hati menjadi dilema tersendiri disela-sela keinginan meringankan beban.
“Akhir bulan ini,
saya ke rumahmu”, kalimat itu terlontar dari mulutmu di ujung ponsel kala itu,
aku tersenyum tapi juga limbung. Siapkah aku? Tidak… tidak hanya aku, tapi juga
orang tuaku. Ya, siapkah orang tuaku jika dalam waktu dekat aku menikah dan
dibawa pergi suami? Pikiranku menerawang adegan beberapa hari yang lalu tentang
harapan-harapan orang tuaku untuk ikut membantu menyelesaikan masalah yang saat
ini dihadapi hingga 3 tahun kedepan. Aku tahu, kamu memiliki i’tikad yang baik
bahwa akan membantu kami setelah menikah nanti, tapi aku juga tahu bagaimana
sifat orang tuaku yang pastinya nanti tidak akan mau merepotkan anaknya jika
sudah berkeluarga.
Malam itu,
seperti biasa kita berbincang via telepon selular. Walau pun ada hal mengganjal
yang tidak biasa aku rasa. Entah mengapa, mengingat tentangmu pasti akan
diiringi ingatan-ingatan tentang orang tuaku. Malam itu, aku meminta maaf
padamu dengan nada berat, mengambang dan tanpa alasan. Ya, aku meminta maaf
untuk setiap salahku padamu tanpa alasan yang mendasar. Dihatiku saat itu,
hanya merasa takut kehilanganmu yang kemudian diikuti takut melukai perasaan
kedua orang tuaku. Aku menjelaskan tentang adegan komunikasi bersama ‘orang
dari masa lalu’ itu, meski terkesan ‘dingin’ daripada bersahaja apalagi mesra.
Tanpa rasa. Nada suaraku berat, tidak seringan biasanya saat berbicara
denganmu. Entah kamu menyadarinya atau tidak, yang pasti aku menahan sesuatu.
Menahan tangis yang rasanya ingin pecah tanpa alasan.
Kamu tahu? Malam
itu aku bingung… hingga kata-kata ‘menyeletuk’ dari mulutku terlontar dengan
bebas. Aku sadar, mungkin kamu akan merasa sakit atau bahkan ill feel
ketika mendengar kata-kata ajaib itu. Aku fikir, begitulah caranya agar membuat
jarak antara kita. Agar aku tidak memupuskan keinginan orang tuaku dan
membiarkanmu mewujudkan mimpi menikah dalam waktu dekat. Tapi, dalam waktu
bersamaan, ternyata aku membuat sayatan-sayatan luka dihatiku sendiri.
Membiarkanmu dengan sengaja pergi meski dalam hati kecilku, aku ketakutan untuk
kehilanganmu. Diakhir perbincangan, kita berdebat hanya untuk menutup telepon.
Aku tak mau mengalah untuk menutup telepon meski kamu memaksa. Ya, aku tak mau
mengalah! Betapa egoisnya aku, bukan? Ya, sangat egois bahkan untuk hal sepele
seperti menutup telepon. Seandainya kamu tahu, bahwa aku tak ingin menutup
telepon karena aku takut itu adalah kali terakhir aku mendengar suaramu. Kamu
dengar? Aku tertawa saat kamu merasa terpaksa menutup telepon, tapi saat nada
telepon ditutup berbunyi, cairan hangat mengalir dengan sempurna dikedua sudut
mataku. Dan aku hanya mampu tersenyum pahit.
Perkiraanku benar,
hari-hari setelah itu menjadi teramat sepi. Pesan singkatku tak lagi mendapat
balasan darimu, bahkan panggilan teleponku pun terabaikan. Ah… seharusnya aku
sadar. Aku menyerah untuk memulai berkomunikasi lagi denganmu, karena kamu
sepertinya mulai enggan berbincang lagi denganku. Aku mengakhiri panggilan dari
ponselku yang tak kunjung mendapat jawaban dari ujung sana. “Ini adalah kali
terakhir” ucapku dalam hati. Aku tatap layar ponsel ‘jadul’ ku, tertera nama
yang sempat menentramkan hati, namun kini mulai pergi. Sesaat kemudian bibirku
mengukir senyum penuh kemenangan, namun mataku nanar, basah dihujani air mata
yang menderai seketika. Aku harusnya senang, bukankah ini yang kuinginkan? Ya,
yang kuinginkan kita tidak lagi dekat, tapi kenapa begitu sakit yang aku rasa?
Begitu pilu… sebab ketakutanku kehilanganmu menjadi kenyataan.
Malam-malam
selanjutnya berlalu tanpamu. Malam-malam itu aku isi kembali dengan curahanku
pada Sang Pemilik Segala. Aku mengadu, mengeluh, bermunajat. “Rabbi… hambaMu
yang kerdil ini rindu ketenangan hati, tolong bantulah aku menata kembali hati
yang mulai mati”. Aku tergolek lemah diatas sajadah biru tua kesayanganku.
Masih berbalut mukena putih bersih. Aku meringkuk, membiarkan air mataku mengalir
pasrah lalu terjun menuju sajadah. Aku menutup mataku, berusaha membayangkan
kedua orang tuaku sebagai penawar rasa sakit dihatiku.
“Rabbi, izinkan
aku mengeluarkan segala keluh malam ini, agar esok hari, aku mampu berdiri
kembali. Biarkan aku menangis sepuas hati, agar esok hari aku bisa mengukir
senyum kembali. Rabbi, pertemukan dia dengan kebahagiaannya dan biarkan aku
membahagiakan orang tuaku”.
#
# # # #
Gadis itu menutup
laptop hitam miliknya setelah selesai menuliskan kisahnya. Gadis itu bernama
Kamilla. Ia tak lagi menuliskan setiap kisahnya dalam diary seperti beberapa
tahun lalu, saat ini Kamilla lebih senang menuliskan kisahnya dalam laptop
kesayangannya. Untuk dikenang, menurutnya. singkat. Hmm… dia, laki-laki yang
diceritakan dalam kisahnya itu menghilang begitu saja, menjauh tanpa kata-kata
perpisahan. Kenapa mesti begitu? Fikirnya, atau… mungkin begitukah cara
laki-laki meninggalkan perempuan dalam kisah mereka? Begitukah cara laki-laki
mengakhiri kedekatannya dengan seorang perempuan? Epic! Tapi juga sakit! Meski
tak bisa bersama-sama, tak bisakah berlaku seperti biasa? Seperti seorang kawan
lama. Kamilla menutup matanya, mencoba mengurai kembali masa singkat bersama
laki-laki yang sempat meneduhkan hatinya itu. “Seharusnya dari awal aku sudah
menyadari akhir dari cerita ini.” Bibirnya tersenyum… tapi air mata bening
menyelinap keluar dari kedua sudut matanya yang masih tertutup rapat.
No comments :
Post a Comment