Blog Berbagi Informasi

Saturday, 15 November 2014

FIKSI DIARY REMBULAN

No comments :
DIARY REMBULAN



Namaku Rembulan, aku gadis kecil terlahir dari keluarga sederhana di sebuah desa pinggiran kota hujan. Aku gadis kecil bukan karena usiaku yang masih belasan tahun, tapi karena ukuran tubuhku yang mungil. Tinggi dan berat badanku tak seideal gadis kebanyakan yang sebaya denganku. Ini kekuranganku.

Aku Rembulan. Sosokku sedikit misterius. Aku punya sepasang mata dengan sorot tajam menembus dimensi. Binar mata layaknya purnama. Aku punya senyum ibarat garis lengkung yang diukir asteroid dilangit malam yang pekat. Sekilas tapi tetap membekas. Itu kataku, haha…. Kata orang, entahlah…



Rembulan Vs Matahari
Matahari… aku suka matahari, aku cinta matahari. Darinya, rembulan serap cahaya hingga bulan tetap bisa berbinar dilangit gelap, meski rembulan dan matahari tak pernah bertemu. Ya, mereka tak pernah bertemu walau tinggal di langit yang sama. Mereka begitu berbeda. Mereka miliki dunia masing-masing. Matahari dengan siangnya dan bulan dengan malamnya. Seperti itulah aku, Rembulan. Dalam hidupku ada sosok yang jadi matahari. Dia sangat aku banggakan. Sangat aku sayangi, tapi kami tak pernah bertatapan satu sama lain meski tinggal di tempat yang sama. Dia adalah kamu. Ya, kamu!

Jarang ku dengar sapa untukku dari mulutmu. Mungkinkah aku tiada bagimu? Entahlah… meski kau begitu dingin dan angkuh padaku, tapi dapat kurasakan hangat kasih sayangmu. Aku yakin kau menyayangiku. Tahukah kau matahariku? Selalu terbesit pertanyaan dalam otakku, sampai kapan engkau bersikap seperti ini padaku? Masihkah kau tak menginginkanku? Adikmu yang terlahir sebagai seorang perempuan?


Rembulan Masa Lalu
Masa laluku, hening. Sepi. Aku terasing dikeramaian. Aku berubah menjadi sosok jahat dimata mereka, teman-temanku. Semua mata mencurigaiku. Semua membenciku. Aku jadi musuh nyata bagi mereka. Tahukah kalian? Bahwa aku tak pernah ingin seperti itu. Seandainya aku diberi pilihan saat itu, aku pun tidak ingin.

Rembulan di masa lalu, menjadi kambing hitam dari segala kecurigaan. Aku dituduh, disalahkan, dijauhi, tanpa pernah tahu apa alasannya. Aku tersudut sendiri. Aku menelan semuanya dalam diam. Bahkan ketika kebencian itu dilampiaskan dengan sebatang balok yang melayang lalu menghantam kedua betisku dengan sukses karena alasan yang tak tertalar logika, aku tetap diam. Ku bendung sekuat tenaga air mataku karena aku tak ingin terlihat lemah. Saat itu, kalian mungkin berfikir bahwa aku tak punya hati, tak bisa merasa, sangat kuat, tangguh, tegar dan angkuh. Tanpa kalian tahu, ketika malam mulai larut dan semua orang terlelap. Aku akan keluar lalu menyudut sendiri dibalik bilik kamar mandi, menumpahkan segala rasa yang ku bendung. Yah… aku menangis sendiri, sebab aku rapuh…

Esok… kala fajar menjelang, aku harus kembali menjadi pribadi yang angkuh, begitu  seterusnya…


Rembulan dan Cinta
Cinta ibarat purnama di malam hari. Indah. Terang dalam kesempurnaan bentuknya, meski malam kian gelap gulita. Bintang bertaburan di sekelilingnya, mungkin itulah yang kusebut pernak-pernik dan bumbu cinta. Tapi nyatanya, indah purnama hanya dari jauh saja, begitu pula indahnya cinta hanya diluar saja. kata-kata manis itu hanya dimulut saja. janji-janji itu palsu semua. Sakit ternyata rasanya saat tahu laki-laki yang kau percayai mengkhianati. Aku disakiti, dibohongi, berulang kali. Ternyata perempuan sepertiku hanya mainan atau hanya pelarian…

Lain waktu, lain laki-laki. sejalan dalam fikiran, nyaman dalam perasaan, namun aku tak sepadan. Kita terlahir dan tumbuh dari akar yang berbeda. Aku kembali menghela. Lain waktu, lain yang kutemui. Kau bertanya tentang orang tua, harta, tahta, sayangnya kau salah! Aku bukanlah orang kaya. Lain waktu, lain lagi… baik dan sopan dalam berkata, hanya saja keinginanmu yang menggebu membuatku keliru. aku sadar kau tak begitu menginginkanku.

Kini rasaku mungkin telah mati untuk laki-laki. kepercayaanku pada kaumnya runtuh tak berbekas. Lalu kubiarkan benci akan rasa menjalar dihatiku. Aku lelah, pasrah. Aku yakin, Allah ‘kan luluhkan hatiku saat Ia pertemukanku dengan pilihan-Nya.


Rembulan Malam
Malam takkan terpisah dengan rembulan. Saat yang selalu ku tunggu, waktu yang selalu ku rindu. Aku suka malam. Mungkin karena namaku Rembulan. Mungkin karena kata ibu, aku terlahir ditengah gelap malam. Entahlah… yang pasti aku begitu menyukai malam hari. Aku kembali terduduk dalam hening, mengadukan semua keluhku. Ku keluarkan semua pertanyaanku pada Sang Penguasa Malam. Tentang ‘kelebihan’ yang tak pernah ku pinta dari-Nya. Bahwa aku selalu merasa ketakutan. Sebuah ketakutan yang tak bisa difahami orang lain. Tentang aku yang harus menghadapi sikap dingin karena aku terlahir sebagai seorang perempuan. Tentang aku yang selalu dianggap tak ada karena tak terlahir dari keluarga berada. Tentang aku yang tak terlahir dengan kecantikan yang jelita. Tentang rasaku yang selalu kandas meski ku usahakan didasari rasa cintaku terhadapMu. Tentang aku yang harus diasingkan karena kesalahfahaman yang aku sendiri tak faham.

Kenapa??? Bukankah Engkau tak memberikanku pilihan saat dalam kandungan? Dan aku harus menanggung semuanya sendirian? Engkau tentu tahu betapa aku hampir putus asa… apa salahku? Tak cukupkah selama ini usahaku menjaga perasaan orang-orang disekitarku? Kenapa tetap aku yang harus merasakan sakit? Selalu sakit?!! Tak cukupkah usahaku membayar semua, agar aku tak lagi merasa sakit?

Ya Rabb, tahukah Engkau? saat aku kembali bertemu orang-orang itu, mereka selalu tersenyum manis dan datang dengan wajah berseri. Tak kulihat segaris pun gurat rasa bersalah di wajahnya. Tak ada rasa bersalah keluar dari mulutnya. Sikap mereka biasa saja, seakan tak terjadi apa-apa. Mereka datang meminta bantuan, memintaku melakukan sesuatu yang kemudian aku lakukan dengan segenap kerelaan hati. Tapi tak urung hatiku bertanya, ‘Lupakah ia bahwa pernah melukai hati seorang Rembulan begitu dalam? Atau mungkin aku telah memaafkannya?’ entahlah… Rabbi, jangan biarkan hatiku terus mendendam.

Rabbii… tidakkah begitu konyol hamba-Mu yang satu ini? mempertanyakan segala yang telah Kau beri. Aku tahu Engkau Maha Adil. Bukankah Kau takkan menimpakan segala sesuatu diluar kemampuan hamba-Mu? Maafkan aku Ya Ghofur… jika aku ternyata sempat kufur atas segala nikmat-Mu. Ighfirlii Rabbii…

Bukankah rembulan di malam hari tak selalu jadi purnama? Ya, ia terkadang menghilang beberapa waktu lalu hadir lagi. Aku pun begitu, tak selalu bisa ceria. Terkadang aku pun larut dalam segala kesedihan dan keluh kesah yang ku pendam. Seperti malam ini, air mataku tak henti membanjiri sajadah yang ku bentang. Mukenaku basah. Ku tumpahkan semua, karena esok aku harus kembali menyambut matahari pagi dengan wajah berseri. Memberi senyum terindah yang aku miliki. Maka, biarlah malam ini ku bangun lagi ketegaranku dengan menumpahkan semuanya pada-Mu, hingga akhirnya mataku lelah untuk menangis lagi. Kini, ku meringkuk dalam kedukaan yang dalam. biarlah aku terlelap di pelukan malam bersama pujian-pujian untuk Sang Penguasa Semesta. Biarkan aku larut dalam malam. Sebab akulah, Rembulan.


Rumah sunyi, 2014
Rembulan.

No comments :

Post a Comment