DIARY REMBULAN
Namaku Rembulan, aku gadis kecil terlahir dari keluarga
sederhana di sebuah desa pinggiran kota hujan. Aku gadis kecil bukan karena
usiaku yang masih belasan tahun, tapi karena ukuran tubuhku yang mungil. Tinggi
dan berat badanku tak seideal gadis kebanyakan yang sebaya denganku. Ini
kekuranganku.
Aku Rembulan. Sosokku sedikit misterius. Aku punya sepasang
mata dengan sorot tajam menembus dimensi. Binar mata layaknya purnama. Aku
punya senyum ibarat garis lengkung yang diukir asteroid dilangit malam yang
pekat. Sekilas tapi tetap membekas. Itu kataku, haha…. Kata orang, entahlah…
Rembulan Vs Matahari
Matahari… aku suka matahari, aku cinta matahari. Darinya,
rembulan serap cahaya hingga bulan tetap bisa berbinar dilangit gelap, meski
rembulan dan matahari tak pernah bertemu. Ya, mereka tak pernah bertemu walau
tinggal di langit yang sama. Mereka begitu berbeda. Mereka miliki dunia
masing-masing. Matahari dengan siangnya dan bulan dengan malamnya. Seperti
itulah aku, Rembulan. Dalam hidupku ada sosok yang jadi matahari. Dia sangat
aku banggakan. Sangat aku sayangi, tapi kami tak pernah bertatapan satu sama
lain meski tinggal di tempat yang sama. Dia adalah kamu. Ya, kamu!
Jarang ku dengar sapa untukku dari
mulutmu. Mungkinkah aku tiada bagimu? Entahlah… meski kau begitu dingin dan
angkuh padaku, tapi dapat kurasakan hangat kasih sayangmu. Aku yakin kau
menyayangiku. Tahukah kau matahariku? Selalu terbesit pertanyaan dalam otakku,
sampai kapan engkau bersikap seperti ini padaku? Masihkah kau tak
menginginkanku? Adikmu yang terlahir sebagai seorang perempuan?
Rembulan Masa Lalu
Masa laluku, hening. Sepi. Aku terasing dikeramaian. Aku
berubah menjadi sosok jahat dimata mereka, teman-temanku. Semua mata
mencurigaiku. Semua membenciku. Aku jadi musuh nyata bagi mereka. Tahukah
kalian? Bahwa aku tak pernah ingin seperti itu. Seandainya aku diberi pilihan
saat itu, aku pun tidak ingin.
Rembulan di masa lalu, menjadi kambing hitam dari segala
kecurigaan. Aku dituduh, disalahkan, dijauhi, tanpa pernah tahu apa alasannya.
Aku tersudut sendiri. Aku menelan semuanya dalam diam. Bahkan ketika kebencian
itu dilampiaskan dengan sebatang balok yang melayang lalu menghantam kedua
betisku dengan sukses karena alasan yang tak tertalar logika, aku tetap diam.
Ku bendung sekuat tenaga air mataku karena aku tak ingin terlihat lemah. Saat
itu, kalian mungkin berfikir bahwa aku tak punya hati, tak bisa merasa, sangat
kuat, tangguh, tegar dan angkuh. Tanpa kalian tahu, ketika malam mulai larut
dan semua orang terlelap. Aku akan keluar lalu menyudut sendiri dibalik bilik
kamar mandi, menumpahkan segala rasa yang ku bendung. Yah… aku menangis
sendiri, sebab aku rapuh…
Esok… kala fajar menjelang, aku harus kembali menjadi pribadi
yang angkuh, begitu seterusnya…
Rembulan dan Cinta
Cinta ibarat purnama di malam hari. Indah. Terang dalam
kesempurnaan bentuknya, meski malam kian gelap gulita. Bintang bertaburan di
sekelilingnya, mungkin itulah yang kusebut pernak-pernik dan bumbu cinta. Tapi
nyatanya, indah purnama hanya dari jauh saja, begitu pula indahnya cinta hanya
diluar saja. kata-kata manis itu hanya dimulut saja. janji-janji itu palsu
semua. Sakit ternyata rasanya saat tahu laki-laki yang kau percayai
mengkhianati. Aku disakiti, dibohongi, berulang kali. Ternyata perempuan
sepertiku hanya mainan atau hanya pelarian…
Lain waktu, lain laki-laki. sejalan dalam fikiran, nyaman
dalam perasaan, namun aku tak sepadan. Kita terlahir dan tumbuh dari akar yang
berbeda. Aku kembali menghela. Lain waktu, lain yang kutemui. Kau bertanya
tentang orang tua, harta, tahta, sayangnya kau salah! Aku bukanlah orang kaya.
Lain waktu, lain lagi… baik dan sopan dalam berkata, hanya saja keinginanmu
yang menggebu membuatku keliru. aku sadar kau tak begitu menginginkanku.
Kini rasaku mungkin telah mati untuk laki-laki. kepercayaanku
pada kaumnya runtuh tak berbekas. Lalu kubiarkan benci akan rasa menjalar
dihatiku. Aku lelah, pasrah. Aku yakin, Allah ‘kan luluhkan hatiku saat Ia
pertemukanku dengan pilihan-Nya.
Rembulan Malam
Malam takkan terpisah dengan rembulan. Saat yang selalu ku
tunggu, waktu yang selalu ku rindu. Aku suka malam. Mungkin karena namaku
Rembulan. Mungkin karena kata ibu, aku terlahir ditengah gelap malam. Entahlah…
yang pasti aku begitu menyukai malam hari. Aku kembali terduduk dalam hening,
mengadukan semua keluhku. Ku keluarkan semua pertanyaanku pada Sang Penguasa
Malam. Tentang ‘kelebihan’ yang tak pernah ku pinta dari-Nya. Bahwa aku selalu
merasa ketakutan. Sebuah ketakutan yang tak bisa difahami orang lain. Tentang
aku yang harus menghadapi sikap dingin karena aku terlahir sebagai seorang
perempuan. Tentang aku yang selalu dianggap tak ada karena tak terlahir dari
keluarga berada. Tentang aku yang tak terlahir dengan kecantikan yang jelita.
Tentang rasaku yang selalu kandas meski ku usahakan didasari rasa cintaku terhadapMu. Tentang aku yang harus diasingkan karena kesalahfahaman yang aku sendiri
tak faham.
Kenapa??? Bukankah Engkau tak memberikanku pilihan saat dalam
kandungan? Dan aku harus menanggung semuanya sendirian? Engkau tentu tahu
betapa aku hampir putus asa… apa salahku? Tak cukupkah selama ini usahaku
menjaga perasaan orang-orang disekitarku? Kenapa tetap aku yang harus merasakan
sakit? Selalu sakit?!! Tak cukupkah usahaku membayar semua, agar aku tak lagi
merasa sakit?
Ya Rabb, tahukah Engkau? saat aku kembali bertemu orang-orang
itu, mereka selalu tersenyum manis dan datang dengan wajah berseri. Tak kulihat
segaris pun gurat rasa bersalah di wajahnya. Tak ada rasa bersalah keluar dari
mulutnya. Sikap mereka biasa saja, seakan tak terjadi apa-apa. Mereka datang
meminta bantuan, memintaku melakukan sesuatu yang kemudian aku lakukan dengan
segenap kerelaan hati. Tapi tak urung hatiku bertanya, ‘Lupakah ia bahwa pernah
melukai hati seorang Rembulan begitu dalam? Atau mungkin aku telah
memaafkannya?’ entahlah… Rabbi, jangan biarkan hatiku terus mendendam.
Rabbii… tidakkah begitu konyol hamba-Mu yang satu ini?
mempertanyakan segala yang telah Kau beri. Aku tahu Engkau Maha Adil. Bukankah
Kau takkan menimpakan segala sesuatu diluar kemampuan hamba-Mu? Maafkan aku Ya
Ghofur… jika aku ternyata sempat kufur atas segala nikmat-Mu. Ighfirlii Rabbii…
Bukankah rembulan di malam hari tak selalu jadi purnama? Ya, ia
terkadang menghilang beberapa waktu lalu hadir lagi. Aku pun begitu, tak selalu
bisa ceria. Terkadang aku pun larut dalam segala kesedihan dan keluh kesah yang
ku pendam. Seperti malam ini, air mataku tak henti membanjiri sajadah yang ku
bentang. Mukenaku basah. Ku tumpahkan semua, karena esok aku harus kembali
menyambut matahari pagi dengan wajah berseri. Memberi senyum terindah yang aku
miliki. Maka, biarlah malam ini ku bangun lagi ketegaranku dengan menumpahkan
semuanya pada-Mu, hingga akhirnya mataku lelah untuk menangis lagi. Kini, ku
meringkuk dalam kedukaan yang dalam. biarlah aku terlelap di pelukan malam
bersama pujian-pujian untuk Sang Penguasa Semesta. Biarkan aku larut dalam
malam. Sebab akulah, Rembulan.
Rumah sunyi, 2014
Rembulan.
No comments :
Post a Comment