TUGAS
MATA KULIAH EPISTEMOLOGI ISLAM
Siti
Jamilah
KPI
VII
1. Akal
secara etimologi, akal berasal dari bahasa arab al ‘aql mashdar dari kata ‘aqola
– ya’qilu – ‘aqlan yang memiliki makna faham (tahu, mengerti) dan
memikirkan (menimbang).
Akal secara terminology, berarti
kemampuan untuk mengetahui sesuatu, memilah dan memilih antara kebaikan dan
keburukan, benar dan salah yang niscaya juga dapat digunakan untuk mengetahui
hal-ihwal yang mengakibatkannya dan sarana-sarana yang dapat mencegah terjadinya.
Wahyu secara etimologi, isyarat
(tersembunyi dan cepat).
Wahyu secara epistemology, berarti isyarat yang
cepat dan tersembunyi yang dimasukkan ke dalam hati seseorang.
2. Pada
dasarnya konteks kebenaran wahyu maupun akal tidak saling bertentangan, namun karena
akal dimiliki oleh manusia yang memiliki hawa nafsu maka konteks kebenaran yang
terlahir dari akal bersifat relative dan bisa saja progresif (berubah-ubah),
sedangkan konteks kebenaran dalam wahyu bersifat mutlak dan tidak terpengaruh
oleh waktu.
3. Wahyu
tidak hanya untuk Nabi dan Rosul, sebab dalam penjelasannya, wahyu itu sendiri
adalah perkataan Allah, dan Allah berbicara dengan 3 cara:
- Allah berfirman langsung tanpa perantara
- Allah membuat yang dikehendaki-Nya menyaksikan pandangan gaib (kasyaf) dalam keadaan tidur, yang dapat ditakwilkan atau tidak atau kadang-kadang membuat mereka mendengar kata-kata dalam keadaan terjaga dan sadar tanpa melihat wujud yang berbicara (ilham).
- Allah mengutus seorang Rosul atau malaikat yang menyampaikan.
Dalam
hal ini jelas bahwa wahyu juga diperuntukkan kita semua manusia, tapi Allah
menyampaikannya dengan cara yang berbeda, yakni dengan berbicara tanpa langsung
melalui Nabi dan Rosul sedangkan melalui al Qur’an yang sudah dibukukan dan
hadist-hadist Rosul bagi umat yang tidak se-zaman dengan para Rosul dan Nabi.
4. Akal
hanya diciptakan hanya untuk manusia, sebab Allah meninggikan derajat manusia
dengan akalnya (diriwayatkan dari Ibn Abbas, tafsir al Baghwi : 5/108). Dan
dalam al Qur’an “Dan sesungguhnya kami telah memuliakan anak Adam” (QS. Al
Isra’ : 70).
5. Tentu
saja wahyu dan akal saling membutuhkan, wahyu memiliki ketentuan-ketentuan
syar’I yang bersifat mutlak, hal ini akan sulit dilaksanakan tanpa adanya
pemahaman dari akal itu sendiri. Akal yang menarik manusia untuk selalu ingin
tahu dan bersifat progresif serta relatif harus dilandasi oleh dalil-dalil dari
wahyu agar tidak bersifat frontal dan membabi buta sehingga tercipta
keseimbangan dalam kehidupan antara wahyu dan akal.
6. Pencarian
kebenaran yang dilakukan oleh Nabi dan Rosul tetap menggunakan akal yang
diberikan oleh Allah namun pencarian itu dilandasi dan berdasarkan wahyu yang
diturunkan oleh Allah.
7. Wahyu
yang mendahului akal sebab wahyu adalah kalam Allah Yang Maha Tahu, akal adalah
instrument untuk menafsirkan atau mengartikan wahyu tersebut sehingga bisa
difahami.
8. Wahyu
diturunkan oleh Allah sebagai pedoman bagi kehidupan manusia dalam segala aspek
dan akal adalah anugerah yang Allah berikan sebagai alat untuk berfikir,
sehingga cara memfungsikan keduanya adalah dengan menjadikan wahyu sebagai
landasan dan pedoman dalam berfikir yang di implikasikan dalam kehidupan
nantinya dan menempatkan akal sebagai instrument untuk mengartikan setiap nash
dalam wahyu sehingga dapat di aplikasikan dalam kehidupan.
No comments :
Post a Comment