Blog Berbagi Informasi

Wednesday, 15 January 2014

Tugas Makalah Mata Kuliah Sejarah Dakwah 2

No comments :

SEJARAH DAKWAH MASA ORDE LAMA DAN MASA ORDE BARU


BAB I

PENDAHULUAN


1.     Islam di Indonesia Sebelum Masa Penjajahan
Pada abad ke-9 H / 14 M penduduk pribumi Indonesia memeluk Islam seara massal. Para ahli sejarah berpendapat pada masa itu kaum muslimin sudah memiliki kekuatan poitik yang berarti. Yakni dengan ditandai berdirinya beberapa kerajaan Islam seperti: Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, dan Ternate. Selain itu hal ini juga dipengaruhi oleh surutnya kekuatan kerajaan bercorak Hindhu-Budha. Thomas Arnold mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam dating ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan perebutan kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkan sebagai rahmatan lil’alamin.[1]

Penyebaran Islam di Indonesia ternyata tidak hanya didominasi oleh para pedagang Arab, Persia, ataupun Gujarat. Tetapi juga para pedagang dari Cina yakni dari Yunan. Selain itu penyebaran juga dilakukan oleh para ulama pada masa itu yang disebut “Wali Songo”. Yang kemudian berlanjut ke masa Orde Lama dan Orde Baru.

BAB II

PEMBAHASAN


1.     Gerakan Islam Masa Orde Lama
A.    Masa Penjajahan
Pada abad 17-18 M terjadi perenggangan hubungan antara umat Islam di Indonesia dengan umat Islam dari luar seperti para pedagang Arab dari Hadramaut yang pada saat itu bermigrasi secara besar-besaran ke Nusantara. Hal ini terjadi disebabkan adanya tekanan dari para penjajah kolonial yang membuat peraturan para pedagang tidak boleh menjual barang dagangannya tanpa perantara mereka.
Semenjak kedatangan bangsa Eropa pada abad ke-15 M ke Indonesia memang sudah terlihat sifat rakus ingin menguasai kekayaan Indonesia. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk Indonesia telah banyak memeluk Islam, agama seteru mereka. Sehingga semangat perang salib selalu dibaw-bawa setiap kali mereka menduduki suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu-Budha.
Kedatangan kaum kolonialis disatu sisi telah membangkitkan semangat jihad muslim Indonesia, namun disisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren saja yang mendalami keislaman, itu pun terbatas pada madzhab Syafi’i. sedangkan pada kaum muslimin kebanyakan, terjadi pencampuran akidah dengan tradisi pra-Islam. Kalangan priayi malah yang dekat dengan bangsa Belanda malah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Ulama-ulama pada masa itu banyak melakukan perlawanan pada penjajah dan kebanyakan dari mereka adalah dari kalangan tarekat. Pada masa ini juga pola dakwah dapat diklasifikasikan menjadi 2 bentuk, yaitu:
a)      Pesantren
Pesantren yang berarti tempat tinggal para santri. Istilah ini juga diambil dari bahasa tamil yakni “sattiri” yang berarti orang yang tinggal disebuah rumah miskin atau bangunan keagamaan secara umum.[2] Pendapat kedua, mengatakan bahwa pondok pesantren merupakan pranata asli Islam, yang lahir dari pola kehidupan tasawuf yang pada perkembangannya telah merambah di beberapa wilayah Islam. Pesantren berkembang dibeberapa wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara yang dikenal dengan zaman Zawiyat.
Indonesia mengenal beberapa istilah pesantren, yakni Surau, Dayah, Meunasah, atau Madrasah. Secara historis, keberadaan pesantren ditengah masyarakat dalam hal pendidikan Indonesia sejak dan sebelum masa penjajahan senantiasa memberikan kontribusinya dalam mengatasi persoalan dan tantangan yang dihadapi.
Pesantren ini dikembangkan guna keperluan dakwah dan syi’ar Islam. Dengan semakin banyaknya lembaga pendidikan Islam didirikan, agama Islam juga semakin berkembang sehingga dapat dikatakan bahwa lembaga pendidikan pesantren merupakan anak panah penyebaran Islam terutama di pulau Jawa.
Sementara itu Azyumardi Azra mengkalisifikasikan fungsi pesantren menjadi 3, yaitu:
·         Transmisi ilmu pengetahuan Islam.
·         Pemeliharaan tradisi Islam.
·         Pembinaan calon-calon ulama.
Pesantren sebagai lembaga kultural yang menggunakan simbol-simbol budaya Jawa sebagai gerakan dakwah dalam agen pembaharuan yang memperkenalkan gagasan pembangunan pedesaan, sebagai pusat kegiatan belajar masyarakat, dan juga pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang bersandar pada silabi yang dibawakan oleh Imam Al Suyuti lebih dari 500 tahun yang lalu. Silabi inilah yang kemudian menjadi dasar acuan pondok pesantren trdisional selama ini. Melalui pesantren juga nilai keislaman ditularkan dari generasi ke generasi.
Pada masa kolonial gerakan dakwah banyak diarahkan pada jihad melawan penjajah. Kondisi ini mengubah fungsi pesantren yang tadinya lembaga pendidikan, berubah menjadi pusat pembangkit anti-Belanda. Oleh karenanya perlawanan bersenjata terhadap Belanda tidak dapat dipisahkan hubungannya dengan pesantren.

b)     Dakwah dalam Bentuk Organisasi Islam
Pada awal abad 17 – 20 M terjadi perlwanan politik terhadap kekuasaan yang disemangati oleh aspek keagamaan. Para ulama mencoba menggerakkan masyarakat, mendidik, dan membantu memajukan perekonomiannya.
Kebangkitan Islam semakin berkembang dengan membentuk organisasi-organisasi social keagamaan, secara berurutan organisasi tersebut lahirm seperti: SDI (Sarikat Dagang Islam) di Bogor tahun 1905 dan Solo 1911, Muhammadiyah di Yogyakarta 1912, Persatuan Islam (Persis) di Bandung 1920, Nahdhatul Ulama’ di Surabaya 1926, dan Persatuan Tarbiyah Indonesia di Candung, Bukit Tinggi 1930.
Sementara itu, berdiri juga partai-partai politik seperti Sarikat Islam yang merupakan kelanjutan dari SDI, Persatuan Muslim Indonesia (Permi) di Padang Panjang 1932 yang merupakan kelanjutan dan perpanjangan dari organisasi Thawalib dan Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun 1938.

B.     Masa Kemerdekaan
Dengan adanya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, maka pada tanggal 22 Oktober 1945, NU mengeluarkan resolusi jihad untuk mempertahankan tanah air, bangsa, dan agama. Resolusi itu berisikan permohonan kepada pemerintah RI supaya menentukkan sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang membahayakan kemerdekaan agama dan Negara Indonesia. Dan supaya memerintahkan kepada umat Islam untuk melanjutkan perjuangan fisabilillah dalam tegaknya RI merdeka dan agama Islam. Dan resolusi jihad inilah kemudian mendorong timbulnya pertempuran antara bangsa Indonesia dan Inggris di Surabaya pad 10 November 1945.
Pemerintah yang baru dibentuk oleh koalisi muslim dan beberapa nasionalis, antara lain dari Masyumi, NU, PNI, dan PKI. Meskipun pada masa peperangan kekuatan kalangan muslim mendominasi tetapi kekuasaan tetap berada dibawah kekuasaan Partai Nasionalis Indonesia. Tuntutan kalangan muslim sehubungan dengan konstitusi dan institusi republic baru ini hanya sebagian kecil yang terpenuhi. Pada awalnya kelompok muslim berhasil menyusupkan perjuangannya dalam Piagam Jakarta, yakni sebuah persyaratan “Kewajiban bagi setiap muslim untuk menjalankan syari’atnya”, namun kalangan nasionalis condong pada Pancasila.
Sebagai pengganti atas tidak dipakainya Piagam Jakarta dan untuk kepentingan pihak muslim, maka dibentuklah kementrian urusan agama. Kementrian ini dibentuk untuk melindungi kebebasan beragama dan untuk menjaga keserasian hubungan antara komunitas agama yang berbeda, namun tujuan utamanya adalah mengenai urusan agama Islam, seperti: urusan perkawinan dan perceraian, urusan wakaf dan haji.


2.     Dakwah Pada Masa Orde Baru
Pada masa orde baru hubungan pemerintah dengan kalangan muslim sangat terpuruk. Banyak sekali kebijakan sosial politik yang secara sistematis bertujuan menyingkirkan kelompok agama dari pentas politik nasional. Marginalisasi kekuatan kelompok agama oleh rezim orde baru dimulai pada tahun 1966, ketika presiden Soeharto dan militernya dengan tegas menolak keinginan tokoh-tokoh Masyumi untuk menghidupkan kembali partai tersebut.
Adapun orde baru adalah masa yang dibagi menjadi 3 masa, yakni:
·         Periode tahun 1970-an
Periode ini merupakan periode awal, mencerminkan pola hubungan yang hegemonik antara Islam dengan orde baru. Periode ini ditandai dengan kuatnya Negara yang secara indopolitik menguasai wacana pemikiran social politik di kalangan masyarakat.
Tanpa bukti-bukti yang jelas kelompok agama sering dituduh ingin menjadikan Islam sebagai ideologi Negara dan mendirikan Negara Islam. Sedangkan dalam lingkungan masyarakat sendiri terjadi penolakan terhadap modernisasi dan sekulerisasi yang dianut pemerintah. Dan fenomena inilah yang kemudian menjadikan para intelektual muslim kita melakukan terobosan dengan jalan memberi respon proaktif terhadap gagasan modernisasi tersebut.
Periode ini banyak lahir dan bermunculan apa yang disebut sebagai intelektual muda muslim, meskipun kadang-kadang kontroversial. Kebanyakan mereka adalah kaum intelektual berpendidikan umum yang lahir dari organisasi-organisasi, seperti: HMII (Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah).

·         Periode tahun 1980-an
Periode ini merupakan masa dimana hubungan Islam dan orde baru mengarah pada saling pengertian timbale balik serta pemahaman di antara kedua belah pihak. Pada periode ini terjadi ledakan kaum cerdas pandai dan ini juga dangat berpengaruh pada kehidupan umat muslim, karena secara demografis mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam.
Pada masa ini kemudian muncul kalangan santri yang terpelajar, modern, dan professional yang memenuhi kebutuhan lapangan kerja serta rekrutmen dari birokrasi. Para santri inilah yang kemudian melakukan perbaikan “perubahan dari dalam” untuk meningkatkan atmosfir keagamaan di linkungan birokrasi.

·         Periode 1990-an
Harmonisasi Islam dan pemerintah orde baru berkembang menjadi sangat akomodatif, berkat artikulasi dan peranan cendekiawan muslim. Hal ini semakin responsifnya birokrasi orde baru terhadap Islam yang antara lain ditandai dengan hadirnya sejumlah kebijakan yang mengakomodasi aspirasi umat Islam. Dari kebijakan inilah kemudian melahirkan era baru dalam dunia keislaman Indonesia.
Umat Islam pada saat itu dihadapkan pada satu dilema antara berpartisipasi mendukung orde baru yang berarti mendukung modernisasi dari barat atau menolak dengan konsekuensi kehilangan kesempatan dalam berperan aktif dalam program pembangunan. Dan inilah yang menjadikan beberapa pola yang berkembang dalam masyarakat. Pola tersebut diantaranya:
Ø  Pola aplogi, namun kemudian dengan usaha menyesuaikan diri dan adaptasi terhadap proses adaptasi. Sebagian yang lain telah mengambil alih nilai-nilai Barat, disertai dengan konflik batin sama sekali.
Ø  Apologi terhadap ajaran-ajaran Islam, tetapi menolak modernisasi yang dinilai sama dengan westernisasi dan sekulerisasi.
Ø  Tanggapan yang kreatif, dengan menempuh jalan dialogis yang mengutamakan pendekatan intelektual dengan menanggapi modernisasi.
Ketiga pola tersebutlah yang kemudian menjadi sangat penting terhadap munculnya gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam yang dicetuskan oleh beberapa tokoh, yakni: Nurcholis Madjid, Dawam Rahardjo, Abdurrahman Wahid, Syafi’I Ma’arif, Amin Rais, Kuntowijoyo, dll.
Pada akhir tahun 90-an terjadi kebangkitan Islam lewat kaum terdidik kota yang terjadi diberbagai Negara yang sedang berkembang. Mereka merupakan santri kota yang mengembangkan dakwah Islam ke dalam komunitas mereka. Pada masa akhir periode tersebut berkembang wacana keinginan sebagian besar generasi Islam untuk melihat masa depan Islam sebagai kekuatan social, kekuatan budaya, kekuatan ekonomi, dan sebagainya. Gejala ini adalah imbas dari adanya semangat intelektual yang mereka miliki sehingga memungkinkan mereka berfikir tentang hal-hal besar dan relevan untuk masa depan umat. Hal ini berkembang dengan menerjemahkan Islam dalam konteks yang actual dan factual dalam bahasa baru serta merumuskan norma-norma Islam dalam konteks baru. Sejalan dengan perkembangan zaman, pemikiran Islam kontemporer telah memasuki proses rasionalisasi.
Gerakan dakwah dengan konsep pemikiran Islam yang rasional dan ilmiah tersebut, dalam proses perkembangan kehidupan masyarakat intelektual mulai memasuki bidang-bidang kehidupan praktis dan lebih eletis. Hal ini juga menunjukkan rasionalisasi dua arah, yaitu rasionalisasi terhadap system ajaran Islam dan rasionalisasi terhadap situasi social lapisan elite muslim.
Kondisi yag berbeda di aerah perkotaan menimbulkan gerakan dakwah baru ala perkotaan yang dimotori oleh gerakan dakwah Paramadina dengan sifatnya yang khas perkotaan. Disamping gerakan Paramadina kemudian muncul gerakan-gerakan lain yang berbasis mesjid, baik kampus maupun perkantoran. Kajian-kajian marak diselenggarakan.
Adapun dengan lahirnya MUI dan ICMI diharapkan dapat menghimpun dan menyatukan segenap potensi kaum ulama dan cendekiawan muslim yang selama ini terkotak-kotak.

BAB III

PENUTUP


1.     Kesimpulan
Melalui penjelasa diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dakwah Islam masih didominasi oleh tarekat yang memberikan kontribusinya pula ketika masa penjajahan. Perkembangan gerakan dakwah Islam maju pesat dengan adanya system pesantren yang kemudian muncul pula organisasi-organisasi gerakan dakwah Islam dengan pemikiran pembaharunya pada masa orde baru.
Secara umum pada masa penjajahan atau orde lama, pola dakwah terkonsentrasi pada peletakan ideology Islam terhadap pemerintah yang baru dibentuk untuk mengakomodasi kepentingan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Dan ini berdampak pada perkembangan Islam itu sendiri dan kemudian menata kehidupan umat Islam dalam sebuah masyarakat yang berdaulat.
Selanjutnya dengan melihat kondisi pada masa orde baru, maka dapat dianalisis bahwa pola dakwahnya sebagai berikut:
Ø  Terjadi pergeseran gerakan dakwah dari tataran pemikiran kea rah yang lebih luas, yaitu dalam setiap kehidupan social kemasyarakatan.
Ø  Dinamika kegiatan dakwah telah banyak berbentuk organisasi modern dan lembaga-lembaga Islam yang sebagian didukung oleh pemerintah.
Ø  Para da’I lebih berkonsentrasi bagaimana mengarahkan umat untuk menjadi umat yang siap dalam menghadapi perubahan terutama arus modernisasi.
Ø  Pola dakwah yang dikembangkan berporos di kota dimana ditandai dengan bermunculannya lembaga-lembaga dakwah yang bercorak untuk kalangan professional dan intelektual. Dakwah lebih bersifat rasional dan sistematis dengan banyak melakukan pendekatan secara realistis.
Ø  Ketika gerakan dakwah melalui politik gagal, maka usaha dakwah dialihkan ke aksi yakni dakwah yang berorientasi pada penanganan masalah social seperti pengembangan dan pemberdayaan yang dikenal dengan dakwah bil hal atau dakwah  cultural. Dakwah inilah yang dianggap telah menjembatani Islam perkotaan dengan Islam tradisional.
Ø  Dakwah berkembang ke lini yang luas, akan tetapi gerakannya terus dibayangi oleh penguasa birokrasi.

DAFTAR PUSTAKA

Yunus, Ahmad Redzuwan Mohd. 2001. Sejarah Dakwah. Sanon Printing Corporations SDN HBD.
Notosoesanto, Nugroho. 2008. Sejarah Nasional Inodensia III, Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Luth, Thohir. 1999. M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya. Jakarta: Gema Insani Press.


[1] Thomas Arnold, The Preaching of Islam
[2] Zamarkhsy Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Islam dalam Hidup Kyai (Jakarta: LP3S, 1994) hlm. 18.
 

No comments :

Post a Comment