PENGERTIAN HEDONISME
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia sebagai objek psikologi karena menjadi makhluk yang paling unik
dengan kepribadian, sikap dan perilakunya masing-masing. Sehingga manusia
menjadi bahan kajian yang tidak ada habisnya, sebab selalu berbeda dan kompleks
permasalahannya termasuk dalam pemenuhan kebutuhannya. Selain itu manusia juga
adalah makhluk social yang tidak bisa hidup sendiri, sehingga mengharuskan
mereka untuk menjalin interaksi antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena
itu amat sangat penting adanya komunikasi yang baik antar manusia.
Kondisi kejiwaan atau psikis seorang individu akan berpengaruh terhadap
komunikasi yang dibangun dilingkungan sosialnya, termasuk akan menunjukkan
kepribadian invidu tersebut dilingkungannya. Salah satu sifat kejiwaan manusia
yang tidak terlepas adalah hedonisme yang masih menjadi bahan hangat untuk
dibahas. Maka dari itu, makalah ini akan membahas lebih lanjut tentang
hedonisme dalam kejiwaan manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hedonisme
Kata Hedonisme berasal dari bahasa Yunani "hedone" yang berarti
nikmat, kesenangan. Hedonisme adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa manusia
hendaknya hidup sedemikian rupa agar mencapai kenikmatan dan kesenangan.Menurut
paham ini, manusia bagaimanapun akan menghindari penderitaan dan hanya mencari
kenikmatan dalam hidupnya. Paham hedonisme sudah muncul sejak abad 4 SM oleh
Aristippos (433-355SM). Menurutnya tujuan akhir manusia adalah mencapai
kesenangan badaniah belaka. Sedangkan Epikuros (341-210 SM) menekankan
kesenangan badan dan jiwa sebagai tujuan kehidupan manusia.
Paham hedonisme masih sangat populer hingga saat ini. Banyak orang
mencari kesenangan karena banyak tawaran kenikmatan yang menggoda. dimana-mana
semakin banyak orang memilih sesuatu yang bersifat instan dan mudah sehingga
tidak perlu menempuh sesuatu yang sulit dan memerlukan proses, karena hal itu
merupakan penderitaan.
Pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi
adalah tujuan utama hidup. Bagi para penganut paham ini, bersenang-senang,
pesta-pora, dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan
bagi orang lain atau tidak.
2. Macam-macam Hedonisme
Faham hedonisme ini tebagi menjadi 2 bagian, yakni:
1)
Hedonisme psikologis
Faham ini berpandangan bahwa semua tindakan diarahkan
untuk mencapai kenikmatan dan menghindari penderitaan. Pandangan ini
mendasarkan diri pada teori yang mengatakan bahwa manusia bagaimanapun juga
selalu hanya akan mencari kenikmatan dan menghindari perasaan yang tidak enak.
Teori ini berbicara mengenai motivasi dasar manusia yang hanya mencari nikmat.
Manusia sebenarnya menipu diri sendiri dan mengira tindakannya itu suci.
Dalam psikologi biasanya dibedakan antara tindakan
manusia yang didorong oleh motivasi tak sadar, yang biasanya berlangsung secara
spontan untuk mempertahankan hidup, dan hal ini tidak bisa direduksi kepada
perasaan nikmat atau senang. Instinct untuk mempertahankan hidup merupakan
sesuatu yang jauh lebih luas dan mendasar daripada hanya sekedar perasaan
nikmat atau senang.
2)
Hedonisme etis
Faham ini berpandangan bahwa semua tindakan ‘harus’
ditujukan kepada kenikmatan dan menghindari penderitaan. Adalah etika yang
membuat pencarian kebahagiaan menjadi prinsip yang paling dasar. Manusia
hendaknya hidup sedemikian rupa sehingga dia dapat semakin bahagia.
Pertimbangan yang mendasarinya adalah bahwa kebahagiaan merupakan
tujuan pada diri sendiri. Orang yang sudah bahagia tidak memerlukan apa-apa
lagi, maka ia harus mencari perasaan-perasaan yang menyenangkan sebanyak
mungkin dan menghindari perasaaan yang tidak enak.
3. Kritik Terhadap Faham Hedonisme
Terhadap pandangan hedonisme ini ada beberapa kritik
yang telah dikemukakan, diantaranya:
a)
Kesenangan selalu bersifat parsial dan berhubungan
dengan keinginan tertentu yang menuntut pemuasan saat ini dan di sini. Karena
itu kesenangan selalu bersifat sementara. Kebahagiaan sebaliknya bersifat
menyeluruh dan langgeng. Dalam bahasa Erich Fromm: Kesenangan termasuk kategori
having sedangkan kebahagiaan tergolong dalam kategori being.
b)
Dalam argumentasi Hedonisme Etis terjadi loncatan
logis. Dari asumsi bahwa manusia selalu mencari kesenangan, ditegaskan pula
penyetaraan kesenangan atau rasa nikmat dengan moralitas yang baik. Hal ini
tidak perlu terjadi bila Hedonisme Etis membatasi diri pada suatu etika
deskriptif. Pada kenyataannya banyak orang bertindak karena didorong oleh
kesenangan (taraf das Sein) dan tidak berlangkah lebih lanjut kepada
rumusan Etika Normatif (taraf das Sollen).
c)
Hedonisme membangun teorinya yang salah tentang
kesenangan: Sesuatu itu baik karena disenangi. Dalam pengertian ini kesenangan
semata-mata bersifat subjektif dan bukanlah pantulan subjektif dari sesuatu
yang baik secara objektif. Sesuatu tidak menjadi baik karena disenangi, tetapi
kita merasa senang karena memperoleh sesuatu yang baik. Kebaikan yang menjadi
objek kesenangan ada lebih dahulu dari kesenangan itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Hedonisme adalah faham yang muncul dari kondisi kejiwaan manusia dalam
memenuhi kebutuhan dan keinginannya, dimana seorang manusia menjadikan
kesenangan sebagai tujuan utama hidupnya. Hedonisme juga terbagi menjadi dua,
yakni: Hedonisme Psikolgis dan Hedonisme Etis.
Namun pada hakikatnya tidak semua tindakan manusia hedonistis, bahkan
banyak orang yang tampaknya merasa bersalah atas kenikmatan-kenikmatan mereka.
Dan hal ini menyebabkan mereka mengalami penderitaan. Pandangan Hedonis
psikologis ialah bahwa semua manusia dimotivasi oleh pengejaran kenikmatan dan
penghindaran penderitaan. Mengejar kenikmatan sebenarnya tidak jelas, sebab ada
kalanya orang menderita dalam rangka latihan-latihan atau menyertai apa yang
ingin dicapai atau dikejarnya.
Kritik Aristoteles ialah bahwa puncak etika bukan pada kenikmatan,
melainkan pada kebahagiaan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kenikmatan bukan
tujuan akhir, melainkan hanya “pelengkap” tindakan. Berbeda dengan John Stuart
Mill yang membela Hedonisme melalui jalan terhormat, utilitarisme yaitu membela
kenikmatan sebagai kebaikan tertinggi. Suatu tindakan itu baik sejauh ia lebih
“berguna” dalam pengertian ini, yaitu sejauh tindakan memaksimalkan kenikmatan
dan meninimalkan penderitaan.
DAFTAR PUSTAKA
Windriani, Nilam. Psikologi
Populer, Mebangun Hubungan Antar Manusia. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 1999. Psikologi
Sosial, Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta: Balai Pustaka.
Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
No comments :
Post a Comment