Tafsir Feminis:
Tantangan Terhadap Konsep Wahyu dan Tafsir
Henri Shalahuddin, MA
Pendahuluan
Keunikan al-Qur'an sebagai wahyu, -baik dari sisi redaksi maupun maknanya, mengharuskan umatnya untuk menempuh metodologi khusus yang sejalan dengan konsep wahyu dalam Islam, terlebih saat berinteraksi dengan kandungan ayat-ayatnya. Konsep wahyu dalam Islam secara selektif menolak segala metode penafsiran liar yang bertentangan dengan sifat dasar wahyu. Sebab al-Qur'an adalah Firman Allah SWT yang diturunkan kepada Rasulullah SAW melalui malaikat Jibril, kemudian diwariskan dari generasi ke generasi secara mutawÉÏir, tertulis dalam mushaf dan membacanya adalah ibadah. Dengan demikian, al-Qur'an adalah rujukan utama kaum Muslimin dalam berislam, bermuamalah dan sekaligus sebagai pegangan hidup.
Dewasa ini, banyak usaha "membumikan" al-Qur'an melalui pendekatan tafsir jalanlain yang tidak pernah dikenal dalam khazanah keilmuan Islam. Al-Qur'an tidak lagi dipahami secara utuh dan menyeluruh, tetapi ditafsirkan secara parsial, lokal, kondisional dan temporal, demi menyesuaikan selera zaman dan penafsir. Bahkan tidak jarang ide-ide kontroversial dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur'an dilakukan hanya untuk memberi justifikasi keabsahan nilai-nilai dari Barat. Di antara ide ini adalah memahami al-Qur'an dari sudut pandang jender (feminisme) yang dilakukan oleh Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd (liberal Mesir), Dr. Muhammad Syahrur (liberal Syiria), Prof. Dr. Nasaruddin Umar, yang saat ini menjabat Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan lain-lain.
Pengertian paham kesetaraan jender --seperti yang dikutip Nasaruddin Umar dari Women's Studies Encyclopedia--, adalah "konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat".
Bagi kalangan liberal, usaha menundukkan al-Qur'an dalam paham kesetaraan jender ala Barat, biasanya tidak menolak ayat-ayat al-Qur'an secara langsung. Tetapi dilakukan dengan memberikan penafsiran ayat-ayat melalui metode kritik sejarah. Metode kritik sejarah (historical criticism) adalah kritik sastera yang mengacu pada bukti sejarah atau berdasarkan konteks di mana sebuah karya ditulis, termasuk fakta-fakta tentang kehidupan pengarang/penulis serta kondisi-kondisi sejarah dan sosial saat itu. Literary criticism in the light of historical evidence or based on the context in which a work was written, including facts about the author's life and the historical and social circumstances of the time.
Akar dan Pokok Masalah
Tafsir feminis atas ayat-ayat al-Qur'an, atau biasa disebut dengan tafsir emansipatoris, sebenarnya berawal dari sikap pasif dan merasa inferior dalam berinteraksi dengan ideologi Barat, khususnya tentang cara memaknai istilah-istilah yang berkenaan dengan keadilan, rasional dan HAM. Sehingga ajaran Islam seringkali dipaksa untuk berkompromi dengan realitas yang berkembang di masyarakat (pendekatan sosiologis). Maka muncullah studi Islam berprespektif gender, Syariat berbasis HAM, Quran untuk perempuan, dst. Bukan sebaliknya, yakni Gender dalam perspektif Islam, HAM berbasis Syariat, perempuan dalam al-Qur'an, dst. Ini terjadi karena penggunaan metode kritik sejarah yang meniscayakan adanya kontektualisasi wahyu berbasis realitas. Sehingga wahyu pun harus tunduk mengikuti realitas sejarah, karena wahyu dipandang sebagai bagian dari sejarah.
Baca selengkapnya DISINI
No comments :
Post a Comment