Melawan
Takdir
Setiap manusia terlahir
dengan takdirnya masing-masing. Ya, Sang Pencipta telah menggariskan takdir-Nya
untuk mereka jalani. Pun begitu denganku, aku memiliki takdirku sendiri untuk
ku jalani. Tapi tahukah kalian? Bahwa saat ini aku seperti makhluk yang sedang
melawan takdir yang telah digariskan oleh Sang Maha Pencipta sejak zaman
azaliku. Ya, itulah yang sedang aku rasakan kini. Berusaha menghindar dan
melawan takdirku sendiri, sepertinya.
Setiap orang berhak
memiliki mimpi, dan tentunya bebas bermimpi tentang apa saja. Pun begitu
denganku. Aku adalah orang yang memiliki banyak mimpi sejak dahulu, bahkan
mimpi-mimpi itu masih aku simpan dalam hati hingga kini. Berharap mereka akan
menjadi kenyataan satu persatu. Aku selalu berusaha untuk mewujudkannya, meski
selalu saja buntu pada akhirnya. Menyedihkan bukan? Tapi itulah
kenyataannya.
Sejak masa sekolah aku
senang tampil di depan orang banyak, menari, membaca puisi, berperan dalam sebuah drama, berbicara, dan mengutarakan
pendapat. Memasuki bangku menengah atas, debat dan presentasi menjadi hal biasa
bagiku. Hingga akhirnya satu kesempatan datang untukku menjadi seorang pembawa
acara, meski sebenarnya cukup menakutkan bagiku pada saat itu, karena di
sekolah menengah pertama aku pernah gagal dan hal itu cukup memukulku, sebab
salah satu guru mengkritikku habis-habisan di hadapan teman-teman satu hari setelah
acara tersebut.
Tapi itu masa lalu, aku menerima kesempatan itu dan…. Voilllaa!!! Aku sukses,
menuai banyak pujian dari banyak orang, tapi bukan itu yang membuat hatiku senang. Aku senang
karena saat membawakan acara aku merasakan semangat yang begitu hidup, bahkan
setelahnya.
Tidak hanya itu, aku seperti di nobatkan secara tidak langsung menjadi ‘master’nya
Master of Ceremony disana. Dimana setiap acara selalu aku yang membuat konsep,
mengatur dan membawakan acaranya.
Tahukah kalian? Saat itu
aku merasa lebih hidup dari biasanya. Entah bagaimana aku mengungkapkannya,
sesuatu yang menyenangkan dan membahagiakan hidup di dalam diriku. Aku lebih
bersemangat, hidupku lebih berwarna, dan lebih-lebih lagi… saat itu aku rasa,
aku merasa jatuh cinta pada dunia ini, dunianya para pembawa acara. Saat itu
pula aku bermimpi menjadi seorang pembawa acara profesional dan menjadi seorang
penyiar. Sebuah kunjungan ke studio radio dan ikut serta saat on air di
dalamnya membuat aku jatuh cinta pada dunia penyiaran. Yup, aku merasa seperti
tahu kemana tujuan hidupku selanjutnya, saat itu… ya, hanya saat itu…
Setelahnya aku memaksakan
diri untuk masuk perguruan tinggi dengan Jurusan Komunikasi, meski orangtuaku
tak begitu mengizinkan dengan berbagai macam alasan. Namun, dengan berbagai
macam alasan pula dan
keinginan kuat untuk
menjadi seorang pembawa acara profesional atau sebagai seorang penyiar yang
masih tersimpan dibenakku, aku berhasil meyakinkan orangtuaku. Saat-saat kuliah… ternyata tak begitu
memenuhi harapanku pada akhirnya. Dosen mata kuliah Penyiaran Radio di
kampusku, begitu… ah, entahlah… aku enggan membicarakannya. Yang pasti,
harapanku tak terpenuhi.
Aku berusaha memenuhi
harapanku untuk mencapai dunia penyiaran. Ku dengar kabar, salah seorang senior
di jurusanku selalu merekomendasikan adik-adik tingkatnya untuk bisa magang di
radio. Aha! Harapanku… meski ternyata harapan itu harus kembali ku simpan
dalam-dalam. Senior itu begitu pintar memandang dengan mata jalangnya. Ia
merekomendasikan adik tingkat yang patut Ia rekomedasikan menurut penciuman
hidung belangnya saja. terakhir
kali aku bercerita tentang hal ini, seseorang berkata “Elo kurang cantik,
makanya gak diajak”, jauh sebelum orang itu berkata demikian, aku sudah sangat
menyadari bahwa aku kurang cantik. Oh! Bukan, bukan kurang cantik, tapi tidak
cantik lebih tepatnya. Aku bukan perempuan yang gila pujian dan harus selalu terlihat cantik oleh laki-laki.
Tidak, aku tidak begitu. Aku punya cermin dan aku cukup sadar untuk bercermin,
bahwa aku adalah salah seorang perempuan yang terlahir dengan ketidakelokan
tubuhnya dan ketidakcantikan
wajahnya. Aku rasa tidak ada yang salah dengan itu.
Sadar bahwa mata seniorku
terlalu jalang dalam menilai, dan tentunya aku sudah jauh dikeluarkan sebelum
sempat dimasukkan dalam kualifikasi adik tingkat yang patut direkomendasikan
untuk magang di radio. Aku menjauh dan lebih memilih mencari jalan
merekomendasikan diriku sendiri untuk magang. Yup, magang di sebuah radio etnik
di Cianjur, tempatku menimba ilmu sebelumnya. Yatta!! Aku diterima dan magang
disana selama sebulan. Rasanya… luar biasa, aku memiliki harapan yang semakin
hidup dan lebih hidup lagi.
Bertahun kemudian harapan
untuk menjadi seorang pembawa acara profesional atau seorang penyiar tidak
luntur sama sekali, masih tetap hidup bersama harapan pada mimpi-mimpi lain
yang ikut hidup setelahnya. Mimpi-mimpi tentang menjadi seorang penulis, penyair, pemain
teater, editor,
copy writer, bekerja di EO atau advertisement agency. Entahlah, mimpi-mimpi itu
kemudian ikut hidup dalam diriku, meski disisi lain aku selalu merasa minder.
Akankah seorang yang terlahir dengan kondisi fisik tidak sempurna dan tidak cantik sepertiku
memiliki tempat disana? Hahaha… sebuah fikiran konyol yang tidak perlu
difikirkan, meski pada akhirnya selalu terfikirkan.
Setelah lulus kuliah aku
terjebak dalam sebuah situasi yang sama sekali tidak aku sukai. Aku terpaksa
bekerja di sebuah lembaga pendidikan formal dimana aku dulu belajar. Semua
berjalan biasa, sangat biasa, aku tidak merasakan jiwa yang hidup seperti aku
mengurus acara, menjadi seorang pembawa acara atau saat duduk di belakang mixer
sound di radio. Semua biasa. Harus aku akui, orangtuaku, sahabat, dan
orang-orang disekelilingku seakan mengamini diriku untuk menjadi guru. Mereka
tidak tahu seberapa besar tidak sukanya aku pada dunia tersebut. mereka tidak
pernah tahu…
Aku kembali mendapatkan
semangat hidupku saat aku mendapat izin untuk magang sebagai penyiar radio di
wilayah kota Bogor. Aku kembali merasakan jiwa yang hidup. sayangnya, itu hanya
berlangsung dalam hitungan bulan. Alasan perizinan membuat radio tidak dapat
beroperasi. Kalian tahu? Sedih rasanya, baru saja aku merasakan semangat dan
merasakan begitu hidup ini menyenangkan tapi semua harus kembali pada
keseharian yang menjenuhkan. Aku ingin berbuat sesuatu, tapi entah apa?
bagaimana cara memulainya?
Aku sangat tidak
ingin meninggalkan radio, aku merasa jiwaku ada disana.
Aku kembali menjalani
hari-hari menjenuhkanku seperti biasa, sangat biasa. Aku mencoba melamar
menjadi seorang editor di perusahaan penerbitan buku. Keajaiban pun datang, aku
diterima dan tinggal menandatangani kontrak keesokan harinya, tapi orangtuaku
tidak mengizinkan dengan alasan jarak dan usaha keluarga yang harus diurus. Aku
seperti dihantam beban berates-ratus
kilo beratnya diatas kepalaku. Kesempatan menjadi seorang copy writer juga
kemudian lewat begitu saja dengan alasan sama. Aku keluar dari pekerjaan
sebelumnya, terlalu jenuh dan aku tidak ingin lagi melakukan hal yang tidak aku
sukai. Aku harus mengambil keputusan. Namun, lagi-lagi kalimat wejangan
orangtuaku membentur kepalaku. Membuat aku selalu mengurungkan langkahku untuk
maju.
Entah kenapa disekelilingku
kesempatan yang selalu terbuka lebar adalah kembali pada dunia pendidikan
formal, menjadi guru. Entah kenapa orangtuaku selalu bersemangat jika itu
tentang mengajar. Tapi tidak denganku, aku tidak pernah bersemangat
melakukannya. Rasanya, apa yang diaminkan oleh orang disekelilingku bahwa aku
cocok jadi guru, diaminkan juga oleh para malaikat. Aku sepertinya memang
ditakdirkan menjadi guru, berada dilingkungan pendidikan formal yang tidak aku
sukai. Mungkinkah ini sebagai hukuman bagiku dari Sang Pencipta karena tidak
menyukai dunia pendidikan? Tapi aku tidak membenci gurunya atau orangnya, aku
hanya membenci sistem yang mereka gunakan, caranya, dan tidak
semuanya aku benci.
Itu saja.
Kini, aku menyerah pada
keadaan. Ya, keadaan dimana seakan aku tidak pernah direstui untuk menjadi apa
yang aku inginkan. Aku harus mengubur dalam-dalam mimpi yang selama ini aku
simpan. Kembali menjadi jiwa tak bernyawa, menjalani hari-hari yang biasa,
sangat biasa. Kembali menahan diri saat mata ini melihat sistem dan cara
mendidik yang entahlah… mengakrabi kembali hal-hal menjenuhkan. Aku sudah
terlalu lama melawan takdirku. Takdir menjadi guru. Takdir berada dilingkungan
pendidikan formal. Terlalu banyak orang yang mengaminiku untuk menjadi guru,
sedangkan aku berjuang sendiri melawan dan menyangkal aminan tersebut. Bodoh! Tentu saja aku kalah.
Bagaimana pun, setidaknya
aku pernah berjuang dan berusaha menjadi seperti yang aku inginkan. Seperti
mimpi yang selama ini hidup dan menyemangatiku. Meski akhirnya aku menyerah.
Setidaknya aku pernah merasakan menjadi seperti yang aku inginkan. Terima kasih
untuk setiap orang yang pernah memberi kesempatan pada manusia kerdil ini untuk
sekedar mengecap rasanya menjadi seperti yang ia impikan. Pasundan Radio (Kang Ajat, Teh
Ayi, Kang Ukay, Kang Ajum, Kang Fey, Kang Oden, Kang Usep, Kang Herdi, Pak
Iwan, Teh Emi, Kang Azwar, Mamih) dan Mars
FM
(Om Burhan, Om Arif, Bang Rizal, Laela). Terima kasih untuk kalian semua.
Entah bagaimana cara mengucapkan terima kasih dan membalas kebaikan kalian
semua. Kalian pernah membuat jiwa ini merasa sangat hidup. Meski kemudian
akhirnya ia menyerah dan memutuskan untuk mematikan mimpinya sendiri. Terima
kasih. Aku tidak akan pernah menyesali jika dikemudian hari diri ini hidup
tanpa mimpi...
Rumah Sepi, Miel.
No comments :
Post a Comment