Blog Berbagi Informasi

Sunday, 13 April 2014

Diary Mila

No comments :
SOSOK BERSAHAJA

Siang itu pukul 11.00 WIB menjelang Jum’atan. Sesosok laki-laki berusia senja dengan wajah bersahaja memapah kakinya berlalu melewati warung tempat Ibu-Bapakku mengais rezeki. Saat itu aku tengah bersiap-siap pulang membawa sekantung barang dari warung untuk menjamu Bapak dan Kakakku sepulang Jum’atan nanti. Saat aku melangkah keluar warung itulah ku dapati seraut wajah bersahaja yang lama tak ku lihat. Ya, wajah itu, wajah yang selalu mengukir senyum ketika berbelanja di warungku. Wajah yang lama tak menyapaku dengan kata-kata dan tawa renyah di warung. Aaaahh.. ada perasaan senang menjalar di tubuhku. Ya, aku senang… sangat senang, akhirnya beliau bisa pulih juga dan kembali ke mesjid.



Kembali ke mesjid? Ya, kembali ke mesjid seperti keinginannya. Seperti harapan yang diungkapkan bersama uraian air matanya. Akhirnya, setelah berbulan-bulan terkurung dirumah, Beliau bisa kembali menapak kaki menuju mesjid walau dengan langkah terbata. Beberapa bulan yang lalu kakinya tak bisa berjalan, lemah, tak kuat menopang badan. Ada banyak luka seperti luka bakar yang lebar di kakinya. Entah penyakit apa aku pun tak tahu. Beliau hanya bisa terbaring di dalam rumah ditemani Sang istri yang mengalami gangguan pendengaran, Putrinya yang tunarungu juga tunawicara serta Sang menantu yang juga berusia hampir senja sepertinya. Ya, laki-laki itulah yang menikahi putrinya. Tak ada yang dapat diharapkan selain terbaring lemah di dalam rumah. Pergi ke dokter tentu perlu biaya yang tidak sedikit. Ketika Bapakku menjenguknya, Beliau berkata “Tolong do’akan, Bapak sudah lama tidak pergi mengaji, Bapak sudah lama tidak sholat di mesjid”. Sebuah keinginan yang mulia dan sangat wajar rasanya, mengingat beliau memang seorang yang taat beragama dan rajin shalat berjama’ah lima waktu di mesjid. Mungkin itu adalah sebuah kerinduan pada ‘Rumah Allah’ yang lama tak dipijaknya.

Wajah bersahaja itu bernama Pak Amung, dulu beliau adalah seorang Penghulu (Na’ib) di tempatku seorang Penghulu disebut dengan panggilan Pak Amil, jadi warga sekitar mengenal beliau dengan panggilan Pak Amil Amung. Julukan ‘Amil’ pada namanya seolah sudah mendarah daging, hingga beliau sudah tak menjadi seorang Penghulu pun, nama ‘Amil’ pada namanya masih saja diingat masyarakat. Dulu, kata Bapak, yang menikahkan Bapak dan Ibuku juga beliau. Sekarang usia pernikahan Ibu dan Bapak sudah hampir 35 tahun lebih, berarti beliau cukup lama menjalani profesi sebagai seorang Penghulu. Sebab seingatku, beliau masih menjadi penghulu ketika aku masih SMP. Sungguh pengabdian yang luar biasa, mengingat Penghulu dahulu tidak seperti Penghulu sekarang. Memiliki gaji yang bisa dibilang cukup dari KUA. Dahulu, para penghulu hanya dibayar alakadarnya dan tidak ada uang pensiun. Sayangnya, tak banyak mungkin sosok yang mengingat beliau, padahal entah berapa ratus pasangan yang sudah dinikahkan oleh beliau. Beliau juga sering mengurus jenazah dari memandikan hingga mengkafani dengan bayaran seikhlasnya. Almarhum kakekku pun beliau yang mengurusnya, walau pun dengan kondisi yang sudah mulai serba terbatas tapi beliau begitu sabar dan tetap bersemangat mengurusi jenazah. Entah berapa ratus orang yang sudah beliau urus... masyaAllah...

Aku teramat kagum pada sosoknya, seorang laki-laki yang menerima sang istri dalam kondisi gangguan pendengaran, seorang bapak yang merawat anak putrinya yang tunawicara dan tunarungu dengan kasih sayang, seorang laki-laki yang tak pernah menyerah mencari nafkah, seorang laki-laki yang pengabdiannya pada agama tanpa pamrih. Teringat ketika aku menerima gaji pertamaku, ku sisihkan sebagian untuk beliau. Bagiku, beliau adalah salah satu orang yang memiliki peranan penting dalam awal sejarah hidupku. Beliau adalah sosok yang menjadi perantara adanya ‘ikatan suci’ antara Bapak dan Ibuku. Aku tersenyum perih saat Bapak bercerita kalau beliau begitu senang dan berulang kali mengucapkan terima kasih atas selembar uang kertas yang aku titipkan pada Bapak untuk beliau. Aahhh.. bapak tak perlu sebegitunya, selembar uang kertas yang aku berikan itu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang telah engkau lakukan untuk warga, untuk agama, seharusnya kamilah yang berterima kasih.

Aku berjalan dibelakangnya kala itu, memperhatikan langkahnya yang terbata menuju mesjid menjelang Jum’atan. Aku pelankan langkahku agar tak mendahului beliau. Ku perhatikan, ada bekas luka di mata kakinya, tepat diujung kain sarung yang dikenakannya. Seperti bekas luka bakar, kulitnya Nampak memutih dibandingkan warna kulit aslinya. Langkah kakinya terpapah pelan sekali. Pundaknya miring, mungkin karena dulu beliau sering mengangkut rerumputan atau kayu bakar dari kebun orang yang beliau urus. Aku kagum dan akan selalu kagum. Semoga ditiap langkah kakimu yang terbata, teriring keberkahan dan pahala yang tiada tara. Amiin ya Rabb…

No comments :

Post a Comment