Siang itu pukul 11.00 WIB menjelang Jum’atan. Sesosok
laki-laki berusia senja dengan wajah bersahaja memapah kakinya berlalu melewati
warung tempat Ibu-Bapakku mengais rezeki. Saat itu aku tengah bersiap-siap
pulang membawa sekantung barang dari warung untuk menjamu Bapak dan Kakakku
sepulang Jum’atan nanti. Saat aku melangkah keluar warung itulah ku dapati
seraut wajah bersahaja yang lama tak ku lihat. Ya, wajah itu, wajah yang selalu
mengukir senyum ketika berbelanja di warungku. Wajah yang lama tak menyapaku
dengan kata-kata dan tawa renyah di warung. Aaaahh.. ada perasaan senang
menjalar di tubuhku. Ya, aku senang… sangat senang, akhirnya beliau bisa pulih
juga dan kembali ke mesjid.
Kembali ke mesjid? Ya, kembali ke mesjid seperti
keinginannya. Seperti harapan yang diungkapkan bersama uraian air matanya. Akhirnya,
setelah berbulan-bulan terkurung dirumah, Beliau bisa kembali menapak kaki menuju
mesjid walau dengan langkah terbata. Beberapa bulan yang lalu kakinya tak bisa
berjalan, lemah, tak kuat menopang badan. Ada banyak luka seperti luka bakar
yang lebar di kakinya. Entah penyakit apa aku pun tak tahu. Beliau hanya bisa
terbaring di dalam rumah ditemani Sang istri yang mengalami gangguan
pendengaran, Putrinya yang tunarungu juga tunawicara serta Sang menantu yang
juga berusia hampir senja sepertinya. Ya, laki-laki itulah yang menikahi
putrinya. Tak ada yang dapat diharapkan selain terbaring lemah di dalam rumah. Pergi
ke dokter tentu perlu biaya yang tidak sedikit. Ketika Bapakku menjenguknya,
Beliau berkata “Tolong do’akan, Bapak sudah lama tidak pergi mengaji, Bapak
sudah lama tidak sholat di mesjid”. Sebuah keinginan yang mulia dan sangat
wajar rasanya, mengingat beliau memang seorang yang taat beragama dan rajin shalat
berjama’ah lima waktu di mesjid. Mungkin itu adalah sebuah kerinduan pada ‘Rumah
Allah’ yang lama tak dipijaknya.
Wajah bersahaja itu bernama Pak Amung, dulu beliau adalah
seorang Penghulu (Na’ib) di tempatku seorang Penghulu disebut dengan panggilan
Pak Amil, jadi warga sekitar mengenal beliau dengan panggilan Pak Amil Amung. Julukan
‘Amil’ pada namanya seolah sudah mendarah daging, hingga beliau sudah tak
menjadi seorang Penghulu pun, nama ‘Amil’ pada namanya masih saja diingat
masyarakat. Dulu, kata Bapak, yang menikahkan Bapak dan Ibuku juga beliau. Sekarang
usia pernikahan Ibu dan Bapak sudah hampir 35 tahun lebih, berarti beliau cukup
lama menjalani profesi sebagai seorang Penghulu. Sebab seingatku, beliau masih
menjadi penghulu ketika aku masih SMP. Sungguh pengabdian yang luar biasa,
mengingat Penghulu dahulu tidak seperti Penghulu sekarang. Memiliki gaji yang
bisa dibilang cukup dari KUA. Dahulu, para penghulu hanya dibayar alakadarnya
dan tidak ada uang pensiun. Sayangnya, tak banyak mungkin sosok yang mengingat
beliau, padahal entah berapa ratus pasangan yang sudah dinikahkan oleh beliau. Beliau juga sering mengurus jenazah dari memandikan hingga mengkafani dengan bayaran seikhlasnya. Almarhum kakekku pun beliau yang mengurusnya, walau pun dengan kondisi yang sudah mulai serba terbatas tapi beliau begitu sabar dan tetap bersemangat mengurusi jenazah. Entah berapa ratus orang yang sudah beliau urus... masyaAllah...
Aku teramat kagum pada sosoknya, seorang laki-laki yang
menerima sang istri dalam kondisi gangguan pendengaran, seorang bapak yang
merawat anak putrinya yang tunawicara dan tunarungu dengan kasih sayang,
seorang laki-laki yang tak pernah menyerah mencari nafkah, seorang laki-laki
yang pengabdiannya pada agama tanpa pamrih. Teringat ketika aku menerima gaji
pertamaku, ku sisihkan sebagian untuk beliau. Bagiku, beliau adalah salah satu
orang yang memiliki peranan penting dalam awal sejarah hidupku. Beliau adalah
sosok yang menjadi perantara adanya ‘ikatan suci’ antara Bapak dan Ibuku. Aku tersenyum perih saat Bapak bercerita kalau beliau begitu senang dan berulang kali mengucapkan terima kasih atas selembar uang kertas yang aku titipkan pada Bapak untuk beliau. Aahhh.. bapak tak perlu sebegitunya, selembar uang kertas yang aku
berikan itu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang telah engkau lakukan
untuk warga, untuk agama, seharusnya kamilah yang berterima kasih.
Aku berjalan dibelakangnya kala itu, memperhatikan
langkahnya yang terbata menuju mesjid menjelang Jum’atan. Aku pelankan
langkahku agar tak mendahului beliau. Ku perhatikan, ada bekas luka di mata
kakinya, tepat diujung kain sarung yang dikenakannya. Seperti bekas luka bakar,
kulitnya Nampak memutih dibandingkan warna kulit aslinya. Langkah kakinya
terpapah pelan sekali. Pundaknya miring, mungkin karena dulu beliau sering
mengangkut rerumputan atau kayu bakar dari kebun orang yang beliau urus. Aku kagum
dan akan selalu kagum. Semoga ditiap langkah kakimu yang terbata, teriring
keberkahan dan pahala yang tiada tara. Amiin ya Rabb…
No comments :
Post a Comment