Blog Berbagi Informasi

Sunday, 30 March 2014

Catatan Cinta Anak Bangsa

No comments :


DILEMA CINTA ANAK BANGSA
Ambigram Indonesia by di6doatm4ja
            Pernah ngerasain jatuh cinta? Atau merasakan mencintai? Tentunya semua orang pernah mengalami ini. Cinta tak hanya pada lawan jenis tetapi keluarga, sahabat, alam semesta, termasuk tanah air kita Indonesia. Cinta memiliki makna sebuah aksi atau kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh dan mau melakukan apapun yang diinginkan objek tersebut (wikipedia.org). Jika ada perasaan cinta pasti ada hal-hal yang kita lakukan untuk menunjukkan cinta kita. Jika cinta itu terhadap Indonesia, apa sich yang dilakukan? Yang pasti ada banyak hal, misalnya: mengamalkan Pancasila dan UUD 1945, menjaga nama Bangsa Indonesia dengan menjadi warga Negara yang baik, dan masih ada segudang hal yang bisa kita lakukan.
            Dalam kehidupan tak jarang kita dihadapkan pada kondisi dimana kita bingung memilih atau menjalani sesuatu. Dilema, mungkin begitulah istilahnya. Dalam Kamus Populer karya YS. Marjo diakatakan bahwa dilema (dillema dalam bahasa Yunani) adalah suatu argumentasi yang memaksa kita untuk mengadakan pemikiran diantara kemungkinan-kemungkinan yang ada. Jadi saat dilema itu muncul, kita seakan-akan berada dipersimpangan jalan yang amat sangat sulit dipilih.

Dilema Cinta di Perbatasan
            Percayakah bahwa dilema cinta pada bangsa Indonesia tengah melanda banyak orang di daerah perbatasan sana? Sebuah kenyataan ironis memang, tapi inilah realitanya. Daerah perbatasan sering terlupakan walau pun banyak dikenal orang, salah satu contohnya adalah Entikong di Kalimantan Barat. Siapa yang tak pernah mendengar nama daerah tersebut? Jalur Entikong amat sangat sering dibicarakan dan disebut-sebut orang jika menyinggung daerah perbatasan. Namun, walau namanya sering disebut dan disorot diberbagai media bahkan semua presiden yang pernah memimpin Negeri ini sudah menyambangi Entikong, tapi Entikong tetaplah menjadi salah satu kawasan tertinggal di perbatasan Indonesia sampai detik ini.
            Entikong adalah nama sebuah desa sekaligus nama sebuah kecamatan di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Indonesia. Luasnya 506,89 km2 dengan jumlah penduduk 13.346 jiwa atau 26 jiwa/km2 (wikipedia.org). Entikong memiliki jalur perbatasan darat dengan negara Malaysia khususnya Serawak sehingga jalur ini sering disebut 'jalur sutera' karena bisa dilewati langsung oleh bus baik dari Indonesia maupun dari Malaysia setelah pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat untuk membuka “Zona Bisnis Bebas” di Kalimantan Barat dengan membuat Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB). Jadi kalau mau ke Malaysia tinggal menunjukkan Kartu Pas Lintas Batas. Mayoritas sukunya adalah Dayak, Melayu, Jawa, Batak dan Padang. Agama yang banyak dianut adalah Katolik, Protestan, Islam dan Konghucu. Kebanyakan penduduk bermata pencaharian petani padi, lada, kakao, karet dan tambang emas tradisional.
            Bagaimana tidak warga Entikong merasakan dilema atas rasa cinta tanah air mereka? Bagi masyarakat perbatasan, cinta tanah air adalah harga mati. Namun, sayangnya mereka seakan tak pernah mendapatkan balasan dari cintanya, istilahnya cinta bertepuk sebelah tangan. Banyak hal dari kehidupan mereka bergantung pada Negara tetangga. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka belanja ke pasar Malaysia yang berjarak ± 100 m dari garis netral dengan berjalan kaki, ketimbang harus belanja ke pasar lokal milik Indonesia yang harus menyeberangi sungai dengan jarak tempuh 2 jam dari Entikong. Jadi tak heran jika warga Entikong lebih sering mengkonsumsi produk Malaysia. Pemerintah kabupaten Sanggau memang sudah membuatkan pasar semi modern yang berjarak 500 m dari Entikong, hanya saja besarnya upeti yang harus dibayar kepada oknum keamanan yang nakal di pos yang dilewati membuat warga enggan berbelanja disana. Belum lagi jalan aspal yang mesti ditempuh 80% telah rusak.
I lovlynesia by mongkih
            Perputaran uang disana amatlah lemah, karena akses transportasi yang amat sangat sulit maka tak jarang warga Entikong kesulitan untuk mendapatkan makanan bergizi. Dikabarkan sebagian besar anak-anak di daerah perbatasan tersebut mengalami kekurangan gizi. Ini dikarenakan distribusi makanan terhambat dan jika barang tersebut sampai disana pun harganya melambung tinggi. Sedangkan warga disana rata-rata berpenghasilan rendah, yakni sebagai buruh atau petani. Disisi lain faktor rendahnya pengetahuan warga terhadap gizi pun amat sangat minim bahkan banyak yang tak mengerti sama sekali. Di Entikong hanya ada satu Puskesmas dengan fasilitas gedung, peralatan dan obat-obatan seadanya. Sehingga jika ada yang sakit parah mereka membawanya ke rumah sakit Malaysia karena lebih dekat, ketimbang harus membawanya ke rumah sakit di Pontianak.
            Jika dibiarkan terus menerus mungkin regenerasi bangsa disana bisa punah. Tempat pemibibitan generasi muda seperti sekolah disana amat sangat minim segala-galanya. Baik itu gedung sekolah, meja, kursi, buku-buku, dan peralatan lain sebagai penunjangnya. Misalnya, di SMPN 4 Entikong yang jaraknya 8 km dari Kecamatan Entikong belajar dengan guru-guru yang tidak sesuai kualifikasinya atau di SMPN 2 Suruh Tembawang, ada 73 siswa belajar mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) namun siswa tidak pernah melihat komputer (hmmm,..). ada pula di sebuah SD seorang guru mesti mengajar 111 siswa sendirian dan harus menyeberang sungai menuju sekolah tempatnya mengajar. Gaji bagi guru golongan kelas III seperti dirinya hanya mendapat Rp. 1,5 juta perbulan. Padahal untuk mengambil gaji tersebut ia harus menyeberang sungai menyewa perahu motor sedikitnya Rp. 1 juta, itu hanya untuk ongkos! Lalu bagaimana hidup para pejuang tanpa tanda jasa ini satu bulan ke depan?? (subhanallah,.. benar-benar tanpa tanda jasa…)
            Yang lebih parah, tak sedikit warga Entikong yang pindah kewarganegaraannya. Alasannya agar kelangsungan hidup mereka terjamin, termasuk pendidikan. Banyak warga Indonesia pindah kewarganegaraannya agar bisa sekolah di Malaysia, karena Malaysia tidak menerima siswa warga Negara Indonesia sebab sekolah di Malaysia telah mendapat subsidi dari pemerintah sehingga semuanya digratiskan. Sesuatu yang dilematis memang, warga Entikong pun punya cita-cita, mereka juga pasti ingin hidup mereka layak. Mereka juga ingin pintar.  Tapi untuk mendapatkan semua itu mereka harus mengorbankan kewarganegaraan mereka. Yah… itulah ironisnya, mereka harus mengorbankan status mereka untuk secercah harapan mewujudkan mimpinya. Jika sudah seperti ini, siapa yang bertanggung jawab?
            Pemerintah tidak bisa menyalahkan warga Entikong jika banyak diantara mereka banyak yang berpindah status kewarganegaraannya, jika banyak warga yang tak hafal Pancasila, lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, bahkan sampai tak mengenal Bapak Wakil Presiden. Tak aneh rasanya, karena pendidikan mereka amat rendah, sehingga minim pula pengetahuan mereka terhadap tanah air-nya sendiri. Apa lagi akses informasi yang masuk lebih banyak dari Malaysia. Untuk mendapatkan saluran televisi Malaysia warga Entikong hanya tinggal memasang antena sederhana dengan tiang setinggi 4-5 meter saja, tetapi jika ingin mendapatkan saluran televisi Indonesia mereka harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli parabola besar. Sama halnya dengan radio, apalagi koran atau majalah. Bahkan aliran listrik pun belum bisa dinikmati semua warga Entikong. Jadi wajar jika warga Negara Indonesia yang berada di Entikong malah lebih mengenal Malaysia.

Menilik Program Pemerintah
            Dalam susunan kabinet kita ada yang disebut dengan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal yakni Bapak Helmi Faishal Zaini. Saat kunjungannya ke Entikong pada hari Minggu, 18 Juli 2010 beliau menjanjikan akan membangun infrastruktur di Entikong berupa jalan, telekomunikasi, kelistrikan, pendidikan maupun bidang kesehatan. Kemudian beliau juga mencari potensi yang bisa dikembangkan ke depannya. Seperti biasa, itu hanya teori! Kenyataannya sampai detik ini belum ada realisasinya. Yang mencuat malah planing pemindahan Ibu Kota Negara dan pembangunan gedung DPR yang baru dengan segala fasilitas mewahnya anggarannya mencapai Rp. 1,4 trilliun. Keduanya akan menelan biaya yang besar. Mengapa uang tersebut tidak digunakan untuk membangun daerah-daerah tertinggal di perbatasan saja? bukankah mereka lebih membutuhkan? Negara sudah mengeluarkan dana yang cukup besar untuk memfasilitasi para wakil rakyat dengan mobil mewah seperti mobil RI 1 Mercedes Benz S 600 Guard dengan harga Rp.6-7 milliar. Setelah itu para wakil rakyat juga diberi fasilitas komputer canggih dengan harga Rp 15 juta/set. Sekarang fasilitas gedung mewah, setelah itu apa lagi??? Para wakil rakyat kita rasanya sudah bisa memfasilitasi diri mereka sendiri tanpa harus difasilitasi.
            Ada yang aneh saat saya mengunjungi blog milik Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal karena disitu profil daerah tertinggal hanya sampai Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Mungkinkah Kalimantan Barat tidak masuk hitungan? Atau mungkinkah Bapak Menteri kita lupa? Itulah alasannya disini saya mengungkit daerah perbatasan Entikong di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
            Saat ini pemerintah harus berfikir kembali dan meninjau ulang penggunaan anggaran dana milik Negara, agar uang tersebut digunakan seefisien mungkin. Jangan sampai mementingkan kepentingan pribadi tetapi rakyat semakin tercekik. Bukankah ada baiknya membangun perbatasan terlebih dahulu karena keadaan mereka sangat memprihatinkan. Bagaimana jika mereka lebih mencintai Negara tetangga? Bukankah wilayah perbatasan adalah beranda Negara? Lihat Malaysia yang begitu sigap dalam membangun Serawak yang berbatasan langsung dengan Indonesia, hal ini sangat kontras dengan wilayah perbatasan milik kita, Entikong yang jauh tertinggal. Agaknya pemerintah harus ‘extra care’ mengurusi wilayah perbatasan.
            Ada segudang ‘PR’ bagi pemerintah dalam membangun daerah perbatasan, seperti pembenahan ‘Zona Bisnis Bebas’ antara Entikong-Serawak melalui jalur PPLB ini juga menyebabkan tingkat penyelundupan dan human trafficking semakin meningkat. Pemerintah Indonesia harus tegas, bisa saja jika satu desa di Entikong semua warganya pindah kewarganegaraan maka tak mustahil Malaysia akan mengklaim daerah tersebut miliknya.
            Menurut saya ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah Indonesia, yakni:
1.      Gunakan dana yang ada untuk membangun perbatasan, dana yang rencananya dialokasikan untuk pemindahan Ibu Kota atau pembangunan gedung DPR yang baru lebih baik digunakan untuk membangun daerah perbatasan.
2.      Bangun infrastruktur daerah perbatasan, perbatasan adalah beranda Negara sehingga sudah sewajarnyalah perbatasan mempunyai jalan yang layak. Jalan ini nantinya difungsikan untuk mempermudah akses ke wilayah kota atau pusat. Bangun rumah sakit, pasar, akses listrik, telekomunikasi, dan yang paling utama bangun sekolah yang nantinya dapat memperkuat nilai-nilai nasionalisme.
3.      Bangun Pertahanan yang kokoh, semuanya diawali dengan pemetaan kembali titik-titik perbatasan agar tak ada saling klaim daerah nantinya. Pilih pemimpin di perbatasan yang kuat dan tegas sehingga dihormati kawan dan disegani lawan sehingga diharapkan dapat memperkuat hubungan diplomasi dan bangun pangkalan militer disana. Sebagai upaya menjaga perbatasan Negara.
Indonesia by Ngupi
Tentunya menjadi harapan kita semua agar pemerintah memperhatikan perbatasan agar rakyatnya sejahtera dan tidak ada lagi pengklaiman atas wilayah teritorial Indonesia. Mereka pun rakyat Indonesia, punya rasa cinta tanah air yang sama, INDONESIA.



Penulis:
Siti Jamilah, Mahasiswi Universitas Ibn Khaldun Bogor, Fakultas Agama Islam, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI). Semester III. Jl. Raya Cijayanti

*just share sebuah catatan usang tertimbun di email ^_^

No comments :

Post a Comment