DILEMA CINTA ANAK BANGSA
Ambigram Indonesia by di6doatm4ja |
Dalam kehidupan tak jarang kita dihadapkan pada kondisi
dimana kita bingung memilih atau menjalani sesuatu. Dilema, mungkin begitulah
istilahnya. Dalam Kamus Populer karya YS. Marjo diakatakan bahwa dilema
(dillema dalam bahasa Yunani) adalah suatu argumentasi yang memaksa kita untuk
mengadakan pemikiran diantara kemungkinan-kemungkinan yang ada. Jadi saat
dilema itu muncul, kita seakan-akan berada dipersimpangan jalan yang amat
sangat sulit dipilih.
Dilema Cinta di
Perbatasan
Percayakah bahwa dilema cinta pada bangsa Indonesia
tengah melanda banyak orang di daerah perbatasan sana? Sebuah kenyataan ironis
memang, tapi inilah realitanya. Daerah perbatasan sering terlupakan walau pun
banyak dikenal orang, salah satu contohnya adalah Entikong di Kalimantan Barat.
Siapa yang tak pernah mendengar nama daerah tersebut? Jalur Entikong amat
sangat sering dibicarakan dan disebut-sebut orang jika menyinggung daerah
perbatasan. Namun, walau namanya sering disebut dan disorot diberbagai media
bahkan semua presiden yang pernah memimpin Negeri ini sudah menyambangi
Entikong, tapi Entikong tetaplah menjadi salah satu kawasan tertinggal di
perbatasan Indonesia sampai detik ini.
Entikong adalah nama sebuah desa sekaligus nama sebuah
kecamatan di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Indonesia. Luasnya 506,89 km2
dengan jumlah penduduk 13.346 jiwa atau 26 jiwa/km2 (wikipedia.org).
Entikong memiliki jalur perbatasan darat dengan negara Malaysia khususnya
Serawak sehingga jalur ini sering disebut 'jalur sutera' karena bisa dilewati
langsung oleh bus baik dari Indonesia maupun dari Malaysia setelah pemerintah
Indonesia dan Malaysia sepakat untuk membuka “Zona Bisnis Bebas” di Kalimantan
Barat dengan membuat Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB). Jadi kalau mau ke
Malaysia tinggal menunjukkan Kartu Pas Lintas Batas. Mayoritas sukunya adalah
Dayak, Melayu, Jawa, Batak dan Padang. Agama yang banyak dianut adalah Katolik,
Protestan, Islam dan Konghucu. Kebanyakan penduduk bermata pencaharian petani
padi, lada, kakao, karet dan tambang emas tradisional.
Bagaimana tidak warga Entikong merasakan dilema atas rasa
cinta tanah air mereka? Bagi masyarakat perbatasan, cinta tanah air adalah
harga mati. Namun, sayangnya mereka seakan tak pernah mendapatkan balasan dari
cintanya, istilahnya cinta bertepuk sebelah tangan. Banyak hal dari kehidupan
mereka bergantung pada Negara tetangga. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
mereka belanja ke pasar Malaysia yang berjarak ± 100 m dari garis netral
dengan berjalan kaki, ketimbang harus belanja ke pasar lokal milik Indonesia
yang harus menyeberangi sungai dengan jarak tempuh 2 jam dari Entikong. Jadi
tak heran jika warga Entikong lebih sering mengkonsumsi produk Malaysia.
Pemerintah kabupaten Sanggau memang sudah membuatkan pasar semi modern yang berjarak
500 m dari Entikong, hanya saja besarnya upeti yang harus dibayar kepada oknum
keamanan yang nakal di pos yang dilewati membuat warga enggan berbelanja
disana. Belum lagi jalan aspal yang mesti ditempuh 80% telah rusak.
I lovlynesia by mongkih |
Perputaran uang disana amatlah lemah, karena akses
transportasi yang amat sangat sulit maka tak jarang warga Entikong kesulitan
untuk mendapatkan makanan bergizi. Dikabarkan sebagian besar anak-anak di daerah
perbatasan tersebut mengalami kekurangan gizi. Ini dikarenakan distribusi makanan
terhambat dan jika barang tersebut sampai disana pun harganya melambung tinggi.
Sedangkan warga disana rata-rata berpenghasilan rendah, yakni sebagai buruh
atau petani. Disisi lain faktor rendahnya pengetahuan warga terhadap gizi pun
amat sangat minim bahkan banyak yang tak mengerti sama sekali. Di Entikong
hanya ada satu Puskesmas dengan fasilitas gedung, peralatan dan obat-obatan
seadanya. Sehingga jika ada yang sakit parah mereka membawanya ke rumah sakit
Malaysia karena lebih dekat, ketimbang harus membawanya ke rumah sakit di
Pontianak.
Jika dibiarkan terus menerus mungkin regenerasi bangsa
disana bisa punah. Tempat pemibibitan generasi muda seperti sekolah disana amat
sangat minim segala-galanya. Baik itu gedung sekolah, meja, kursi, buku-buku,
dan peralatan lain sebagai penunjangnya. Misalnya, di SMPN 4 Entikong yang
jaraknya 8 km dari Kecamatan Entikong belajar dengan guru-guru yang tidak
sesuai kualifikasinya atau di SMPN 2 Suruh Tembawang, ada 73 siswa belajar mata
pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) namun siswa tidak pernah
melihat komputer (hmmm,..). ada pula di sebuah SD seorang guru mesti mengajar
111 siswa sendirian dan harus menyeberang sungai menuju sekolah tempatnya
mengajar. Gaji bagi guru golongan kelas III seperti dirinya hanya mendapat Rp.
1,5 juta perbulan. Padahal untuk mengambil gaji tersebut ia harus menyeberang
sungai menyewa perahu motor sedikitnya Rp. 1 juta, itu hanya untuk ongkos! Lalu
bagaimana hidup para pejuang tanpa tanda jasa ini satu bulan ke depan?? (subhanallah,..
benar-benar tanpa tanda jasa…)
Yang lebih parah, tak sedikit warga Entikong yang pindah
kewarganegaraannya. Alasannya agar kelangsungan hidup mereka terjamin, termasuk
pendidikan. Banyak warga Indonesia pindah kewarganegaraannya agar bisa sekolah
di Malaysia, karena Malaysia tidak menerima siswa warga Negara Indonesia sebab
sekolah di Malaysia telah mendapat subsidi dari pemerintah sehingga semuanya
digratiskan. Sesuatu yang dilematis memang, warga Entikong pun punya cita-cita,
mereka juga pasti ingin hidup mereka layak. Mereka juga ingin pintar. Tapi untuk mendapatkan semua itu mereka harus
mengorbankan kewarganegaraan mereka. Yah… itulah ironisnya, mereka harus
mengorbankan status mereka untuk secercah harapan mewujudkan mimpinya. Jika
sudah seperti ini, siapa yang bertanggung jawab?
Pemerintah tidak bisa menyalahkan warga Entikong jika
banyak diantara mereka banyak yang berpindah status kewarganegaraannya, jika
banyak warga yang tak hafal Pancasila, lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, bahkan
sampai tak mengenal Bapak Wakil Presiden. Tak aneh rasanya, karena pendidikan
mereka amat rendah, sehingga minim pula pengetahuan mereka terhadap tanah air-nya
sendiri. Apa lagi akses informasi yang masuk lebih banyak dari Malaysia. Untuk mendapatkan
saluran televisi Malaysia warga Entikong hanya tinggal memasang antena
sederhana dengan tiang setinggi 4-5 meter saja, tetapi jika ingin mendapatkan
saluran televisi Indonesia mereka harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk
membeli parabola besar. Sama halnya dengan radio, apalagi koran atau majalah.
Bahkan aliran listrik pun belum bisa dinikmati semua warga Entikong. Jadi wajar
jika warga Negara Indonesia yang berada di Entikong malah lebih mengenal
Malaysia.
Menilik Program
Pemerintah
Dalam susunan kabinet kita ada yang disebut dengan
Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal yakni Bapak Helmi Faishal Zaini. Saat
kunjungannya ke Entikong pada hari Minggu, 18 Juli 2010 beliau menjanjikan akan
membangun infrastruktur di Entikong berupa jalan, telekomunikasi, kelistrikan,
pendidikan maupun bidang kesehatan. Kemudian beliau juga mencari potensi yang
bisa dikembangkan ke depannya. Seperti biasa, itu hanya teori! Kenyataannya
sampai detik ini belum ada realisasinya. Yang mencuat malah planing pemindahan
Ibu Kota Negara dan pembangunan gedung DPR yang baru dengan segala fasilitas
mewahnya anggarannya mencapai Rp. 1,4 trilliun. Keduanya akan menelan biaya
yang besar. Mengapa uang tersebut tidak digunakan untuk membangun daerah-daerah
tertinggal di perbatasan saja? bukankah mereka lebih membutuhkan? Negara sudah
mengeluarkan dana yang cukup besar untuk memfasilitasi para wakil rakyat dengan
mobil mewah seperti mobil RI 1 Mercedes Benz S 600 Guard dengan harga Rp.6-7
milliar. Setelah itu para wakil rakyat juga diberi fasilitas komputer canggih
dengan harga Rp 15 juta/set. Sekarang fasilitas gedung mewah, setelah itu apa
lagi??? Para wakil rakyat kita rasanya sudah bisa memfasilitasi diri mereka
sendiri tanpa harus difasilitasi.
Ada yang aneh saat saya mengunjungi blog milik Menteri
Pembangunan Daerah Tertinggal karena disitu profil daerah tertinggal hanya
sampai Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Mungkinkah Kalimantan Barat
tidak masuk hitungan? Atau mungkinkah Bapak Menteri kita lupa? Itulah alasannya
disini saya mengungkit daerah perbatasan Entikong di Kabupaten Sanggau,
Kalimantan Barat.
Saat ini pemerintah harus berfikir kembali dan meninjau
ulang penggunaan anggaran dana milik Negara, agar uang tersebut digunakan
seefisien mungkin. Jangan sampai mementingkan kepentingan pribadi tetapi rakyat
semakin tercekik. Bukankah ada baiknya membangun perbatasan terlebih dahulu karena
keadaan mereka sangat memprihatinkan. Bagaimana jika mereka lebih mencintai
Negara tetangga? Bukankah wilayah perbatasan adalah beranda Negara? Lihat
Malaysia yang begitu sigap dalam membangun Serawak yang berbatasan langsung
dengan Indonesia, hal ini sangat kontras dengan wilayah perbatasan milik kita,
Entikong yang jauh tertinggal. Agaknya pemerintah harus ‘extra care’ mengurusi
wilayah perbatasan.
Ada segudang ‘PR’ bagi pemerintah dalam membangun daerah
perbatasan, seperti pembenahan ‘Zona Bisnis Bebas’ antara Entikong-Serawak
melalui jalur PPLB ini juga menyebabkan tingkat penyelundupan dan human
trafficking semakin meningkat. Pemerintah Indonesia harus tegas, bisa saja
jika satu desa di Entikong semua warganya pindah kewarganegaraan maka tak
mustahil Malaysia akan mengklaim daerah tersebut miliknya.
Menurut saya ada beberapa hal yang perlu menjadi
perhatian pemerintah Indonesia, yakni:
1.
Gunakan dana yang ada untuk membangun perbatasan, dana
yang rencananya dialokasikan untuk pemindahan Ibu Kota atau pembangunan gedung
DPR yang baru lebih baik digunakan untuk membangun daerah perbatasan.
2.
Bangun infrastruktur daerah perbatasan, perbatasan
adalah beranda Negara sehingga sudah sewajarnyalah perbatasan mempunyai jalan
yang layak. Jalan ini nantinya difungsikan untuk mempermudah akses ke wilayah
kota atau pusat. Bangun rumah sakit, pasar, akses listrik, telekomunikasi, dan
yang paling utama bangun sekolah yang nantinya dapat memperkuat nilai-nilai
nasionalisme.
3.
Bangun Pertahanan yang kokoh, semuanya diawali dengan
pemetaan kembali titik-titik perbatasan agar tak ada saling klaim daerah nantinya.
Pilih pemimpin di perbatasan yang kuat dan tegas sehingga dihormati kawan dan
disegani lawan sehingga diharapkan dapat memperkuat hubungan diplomasi dan
bangun pangkalan militer disana. Sebagai upaya menjaga perbatasan Negara.
Indonesia by Ngupi |
Tentunya
menjadi harapan kita semua agar pemerintah memperhatikan perbatasan agar
rakyatnya sejahtera dan tidak ada lagi pengklaiman atas wilayah teritorial
Indonesia. Mereka pun rakyat Indonesia, punya rasa cinta tanah air yang sama,
INDONESIA.
Penulis:
Siti Jamilah, Mahasiswi
Universitas Ibn Khaldun Bogor, Fakultas Agama Islam, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI).
Semester III. Jl. Raya Cijayanti
*just share sebuah catatan usang tertimbun di email ^_^
No comments :
Post a Comment