MANUSIA, KODRAT DAN KEDUDUKANNYA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Manusia
Dalam Al-Qur'an
banyak penjelasan mengenai arti manusia dengan membedakan konsep manusia dalam
berbagai macam bentuk kata, yakni:
·
Al – Insan, sinonim kata al-ins dan an-nas,
merujuk kepada eksistensi manusia sebagai pribadi yang utuh dan makhluk yang
layak menjadi khalifah untuk memikul beban taklif (tugas keagamaan). Kata
al-Ins, terambil dari kata uns, yang berarti jinak, harmonis, dan tampak. Kata
ini, sering menunjuk pada dengan seluruh totalitasnya, yaitu jiwa dan raga.
Manusia memiliki tingkat kecerdasan, fisik, maupun mental dengan yang lainnya.
Sementara al-Nas, lebih menunjuk pada posisi manusia sebagai mahkluk sosial.
(QS. Al-Nisa’ : 1).
Artinya: “Hai sekalian
manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang
satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu.”
·
Al – Basyar, merujuk kepada makhluk fisik
keturunan Adam as yang makan minum dan hidup dan bergerak. Kata
al-Basyar, pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari
akar yang sama lahir kata Basyarah, yang berarti kulit. Hal ini menjelaskan
bahwa manusia memilki kulit yang tampak jelas, dan berbeda dengan kulit
binatang lainnya, yang cenderung memiliki perbedaan antara satu dengan yang
lain. Kata al-Basyar ini, menunjuk pada dimensi lahiriyah manusia. Disisi lain
kata al-Basyar, juga mengisaratkan tentang proses kejadian manusia yang melalui
beberapa tahap, hingga mencapai kedewasaan. (QS. Al-Rum : 20).
Artinya: . “dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, (Allah) menciptakan kamu dari tanah,
kemudian ketika kamu menjadi basyar, kamu bertebaran”
Bertebaran
disini, bisa diartikan sebagai mahkluk yang berkembang biak akibat hubungan
seks atau bertebaran mencari rizki. Kedua hal ini tidak dilakukan oleh manusia,
kecuali karena ia memiliki kedewasaan dan bertanggungjawab. Tidak heran, ketika
Maryam merasa keheranan karena ia mengandung tanpa menikah, ia menggunakan kata
basyar.
·
Bani Adam, menunjukkan keturunan Adam dalam
sisi histories, yakni anak keturunan Nabi Adam As.
وَلَقَدْ
كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ
خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
Artinya: “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami
angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang
baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas
kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.” (QS. Al Isra :70)
Ketiga bentuk kata itu
memiliki makna hakekat yang mendalam dalam hubungannya dengan eksistensi
manusia di bumi ini.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kodrat
Manusia
Manusia pada
hakekatnya adalah abdi Tuhan yang hidupnya semata-mata hanya untuk beribadat
kepada Robnya. Hal ini secara kodrat harus kita akui sekaligus kita aplikasikan
dengan penuh keikhlasan dan konsisten. Firman Allah swt dalam surat az-Zariyat : 56
Artinya: "Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia itu
melainkan supaya mereka menyembah-Ku"
Firman Allah
tersebut mengandung indikasi bahwasannya eksistensi manusia diciptakan Allah di
muka bumi ini adalah sebagai abdi-Nya semata. Hal ini, dapat dilihat dari kata "liya'buduni" (supaya mereka
menyembah-Ku). Atau dalam surat
Al Fatihah ayat 5
Artinya: "Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya
kepadaMu-lah kami memohon pertolongan".
Dari kedua ayat
tersebut, jelas bahwa sebenarnya hal ini mengandung dua aspek, yakni pihak yang
mnyembah dan pihak yang disembah yakni Allah Swt. Firman Allah Swt dalam ayat
56 surat az-Zariyat tersebut, mengandung dua makna mendalam, yaitu: pertama:
makna takwin (penciptaan) manusia sebagai hamba. Kedua: taklif (pembebanan
tanggungjawab) manusia sebagai ciptaan Tuhan.
Kedua kandungan
makna tersebut tidaklah bertentangan bahkan dapat disatukan, yakni bahwa
manusia itu diciptakan dengan kodrat sebagai hamba atau makhluk yang tunduk
kepada Allah, sekaligus dibebani tanggung jawab sebagai manifestasi
ketundukannya kepada Tuhan.
Al-Raghib
membedakan hamba menjadi empat bentuk, yakni:
·
Hamba karena hukum, yakni budak-budak atau
hamba sahaya.
·
Hamba karena penciptaan, yakni manusia dan
seluruh makhluk ciptaan Tuhan.
·
Hamba karena penganbdian kepada Allah.
·
Hamba karena memburu dunia dan kesenangannya
seperti yang disebutkan
Manusia
diciptakan Allah dengan kodrat ketergantungan kepada rububiah-Nya. Kodrat fisik
dan psikis yang paling baik dibanding dengan makhluk lainnya dan dengan
tujuan hidup yang bersifat ubudiah. Ketergantungan manusia kepada rububiahnya
mengandung makna bahwa manusia tidak dapat hidup dengan aman dan sejahtera
melainkan dengan (hukum-hukum Allah).
tujuan hidup yang bersifat ubudiah. Ketergantungan manusia kepada rububiahnya
mengandung makna bahwa manusia tidak dapat hidup dengan aman dan sejahtera
melainkan dengan (hukum-hukum Allah).
Jadi, kodrat
manusia di bumi ini adalah untuk beribadat hanya kepada Allah Swt. Oleh karena
itu, kita tidak diperbolehkan untuk beribadah kepada selain Allah, karena hal
itu sudah keluar dari fungsi ubudiyah yang kita sandang sebagai abdi Tuhan.
Dengan demikian dapat dikatakan dalam kodratnya manusia melaksanakan
hubungannya secara vertical dengan Allah, yakni dikenal dengan hablum minallah.
a. Sifat-sifat
Kodrati Manusia
Sifat kodrati manusia dapat ditelusuri dari ayat al Qur’an dengan
petunjuk kata khalaqa yang bermakna
penciptaan jasmani dan rohani. Adapun sifat kodrati manusia tersebut
menggambarkan sifat ketergantunga manusia. Seperti dalam Q.S. al ‘Alaq ayat 2.
Artinya: “Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah”.
Selanjutnya adalah sifat keutamaan manusia yang tergambar dalam
Q.S. At Tiin ayat 4.
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
2. Kedudukan
Manusia
Eksistensi
manusia sebagai kalifah artinya bahwa manusia adalah sebagai makhluk pemimpin,
pengelola dan penegak hukum Allah di bumi ini. Firman Allah swt QS. Fathir:39
Artinya: “Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di
muka bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya
sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan
menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu
tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.”
Disamping
sebagai khalifah manusia juga mempunyai fungsi sebagai ta'mir (pembangun) bumi
ini. Firman Allah swt QS. Hud: 61
Artinya: Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka
Saleh. Saleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada
bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan
menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian
bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi
memperkenankan (doa hamba-Nya).”
Dalam
kedudukannya manusia sebagai khalifah dan pembangun telah diketahui bahwa
manusia mempunyai tugas menegakkan hukum-hukum Allah dan melakukan aktivitas
pembangunan (amal shaleh). Maka, kedua tugas ini pada hakekatnya adalah
fungsi manusia sehingga dapat dikatakan bahwa keduanya merupakan perwujudan
ibadah dalam arti luas.
fungsi manusia sehingga dapat dikatakan bahwa keduanya merupakan perwujudan
ibadah dalam arti luas.
Kedudukan
manusia ini jelaslah menggambarkan hubungan secara horizontal yakni manusia
dengan sesama makhluk Allah, yang dikenal dengan hablum minannas. Dalam hal ini, manusia tidak dapat melepaskan
dirinya dari lingkungan hidup, baik masyarakat maupun alam fisik lingkungannya.
Dengan demikian manusia merupakan makhluk sosial (zoon politicon).
BAB III
PENUTUP
3. Kesimpulan
Pada akhirnya
dapat kita ketahui kodrat dan kedudukan manusia. Manusia kodratnya sebagai abdi
Allah atau hamba Allah yang wajib beribadah kepada Allah semata. Disamping itu
kedudukan manusia didunia ini adalah sebagai khalifah yang memiliki fungsi
sebagai pemimpin dan pembangun (ta’mir). Kodrat dan kedudukan manusia ini
menggambarkan hubungan vertical dan hubungan horizontal manusia, yakni hablum minallah dan hablum minannas.
Agar manusia
tetap selaras dengan kodrat kejadiannya dan terpelihara dari
kehidupan duniawi itu, maka Allah menurunkan ajaran Islam yang dibawa Rasulullah Saw, untuk menata kehidupan manusia berdasarkan syari'at Islam. Manusia diperintahkan untuk beribadat dalam arti menegakkan hukum-hukum Allah dalam aktivitasnya memakmurkan bumi. Di sinilah manusia itu disebut juga sebagai makhluk agamis. Hidup dengan menegakkan hukum agama dalam kehidupan dan tatanan masyarakat adalah merupakan kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia sebagai al-insan.
kehidupan duniawi itu, maka Allah menurunkan ajaran Islam yang dibawa Rasulullah Saw, untuk menata kehidupan manusia berdasarkan syari'at Islam. Manusia diperintahkan untuk beribadat dalam arti menegakkan hukum-hukum Allah dalam aktivitasnya memakmurkan bumi. Di sinilah manusia itu disebut juga sebagai makhluk agamis. Hidup dengan menegakkan hukum agama dalam kehidupan dan tatanan masyarakat adalah merupakan kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia sebagai al-insan.
Praktek pengabdian
terhadap Allah tersebut harus terapliaksi dengan penuh keikhlasan dan
konsisten, sekalipun banyak godaan dan cobaan yang dihadapi. Kemudian, fungsi
ubudiah yang dimiliki manusia sejalan dengan fungsi kekhalifahannya di bumi
ini. Karena pada hakekatnya kekhalifahan manusia itu tetap berorientasi pada
makna ibadah dalam arti yang luas.
DAFTAR PUSTAKA
Rasyid, Daud. 1998. Islam Dalam
Berbagai Dimensi. Jakarta
: Gema Insani Press.
Feisal, Jusuf Amir. 1995. Reorientasi
Pendidikan Islam. Jakarta
: Gema Insani Press.
Imarah, Muahammad. 1999. Islam dan
Keamanan Sosial. Jakarta
: Gema Insani Press.
Salim, Abdul Muin. 2002. Fiqih
Siyasah, Konsepsi Politik Dalam Al Qur’an. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
No comments :
Post a Comment